17/07/2018

Bukan Sabina

Sabina, Nenek itu benar. Betapapun Kau mendeklarasikan diri sebagai Sabina, hatimu tetaplah Aisha.
Betapapun Kau menyembunyikan diri sebagai Sabina, masa lalumu tetaplah Aisha.

Maafkanlah Fahri yang telah goyah dan membukakan hati bagi seorang Hulya. Meskipun jauh di lubuknya, Kau adalah satu-satunya Ratu yang senantiasa teristimewa.
Terlalu istimewa sehingga rindunya padamu melebihi tingginya angkasa raya.
Terlampau istimewa sampai-sampai namamu selalu mendominasi barisan do’a di akhir shalatnya.
Dan sedemikian istimewa hingga mimpi perihalmu selalu hadir..
melulu hadir..
bahkan di setiap Ia baru memejamkan kedua matanya.

Ia tahu, mengizinkanmu ke Gaza adalah kesalahan kedua terberatnya. Dan tak mampu melindungi keselamatanmu adalah kesalahan beratnya yang paling utama.
Membuat alunan nada merdu biola yang seringkali Kau mainkan, berubah menajam dan melesat menikam.
Menjadi sebuah sembilu yang membuat pilu seluruh sendi-sendi rindu.

Sabina, Ia tulus mencintai hatimu, bukan raut wajahmu.
Ia dalam menyayangi jiwamu, bukan fisikmu.
Mendatanginya dalam wujud yang berbeda tak akan sedikitpun melunturkan perasaan cintanya. Namun mendatanginya dalam nama yang lain hanya akan membuatmu tersiksa dalam jubah pura-pura.

Baginya, Kau tetaplah Aisha seperti saat bertemu dalam metro di kali pertama. Saat ketika Ia berbincang padamu dengan kalimat Jerman alakadarnya. Namun kalimat sempurna yang mempertautkan dua hati dengan indahnya.

Ya, itu adalah sebuah Ingatan yang tak akan pernah terlupa. Meski Kau kini kerap menggeleng dan mengakui diri sebagai Sabina.

Sabina, tolong katakanlah sekali lagi..

Tolong ucapkanlah sekali lagi..

“Mein name ist,

Aisha..”


No comments:

Post a Comment