17/07/2018

Mimpi Abadi

Sekian hari tanpa menulis, sekian masa tanpa berkarya. Serona telah bercerai dengan pena, dicampakkan oleh tinta, dan ditinggal pergi ide-ide cerita. Aku mati, merasa abadi tak lebih dari sekedar mimpi.
Bukan tanpa alasan, selain karena Aku disibukkan oleh seorang bayi kecil yang bernama Zhira, fikiran ini disibukkan pula mencari jawaban atas sebuah evaluasi.
“Untuk apa Aku menulis? Apa yang kuhasilkan dari menulis? Apa yang kan kukejar dari menulis?”

Tak kunjung menemukan jawaban, maka Aku membuka file-file memori didalam folder history.
***
Satu memori ketika berhasil memunculkan karya, setelah berbulan-bulan lamanya menghabiskan malam hanya untuk  melahirkan beberapa lembar tulisan. Bersusah-susah, berpayah-payah, namun tetap bersuka cita menyodorkan karya tersebut ke berbagai penerbit.
Apakah diterima?
Tidak. Karyaku tak sesuai dengan minat pasar, itu jawaban mereka.
Aku mencoba berlapang dada, mencoba lagi penerbit-penerbit yang tersisa. Hingga terpaksa mencetak bukuku sendiri, dengan uang tabungan sendiri.
***
Dua memori dihadirkan, ketika mempromosikan buku hasil karyaku kepada semua kawan yang kukenal. Beberapa grup di WhatsApp, berisi semua kawan-kawan sekolahku dulu, pun kedalam grup teman-teman kerja. Dengan kembali bersuka cita Aku menawari mereka.
Apakah diterima?
Lagi-lagi tidak. Hanya sesaat setelah postinganku muncul, grup mendadak sepi. Hanya satu dua kawan yang memberi simbol jempol, tanpa diterusi ke arah maksud untuk membeli. Aku harus menerima kenyataan bahwa karyaku sepi peminatnya, tak ada yang bersedia membelinya. Namun setelah kutambahi kata GRATIS, barulah berbondong-bondong mereka meminta. Aku hanya bisa bertanya dalam hati, serendah itukah nilai karya ini?
***
Tiga memori didatangkan. Waktu mencoba bekerjasama dengan pelapak buku musiman. Beberapa eksemplar kuberikan, dengan persetujuan atas laba besar yang Ia minta. Tak apa, meskipun Aku jelas merugi, tapi yang penting ada rasa bangga bukuku terpajang di raknya. Tak sedikitpun menyangka, jika lapak tersebut tiba-tiba tutup tanpa ada konfirmasi. Dan bukuku pun hilang dibawa pergi.
Bertahun-tahun kemudian baru kutemukan lagi di tempat yang lain, dan penjual sama yang malu-malu menyembunyikan diri. Ingin sekali marah, tapi untuk apa. Itu hanya akan mempermalukannya dihadapan umum. Akupun pergi, sibuk menanyai diri sendiri, apa bukuku memang bernilai rendah? Sungguh, apakah semua tulisanku itu tak ada artinya??
***
Empat memori mendobrak pintu, hanya sesaat setelah sang norma bertandang di ruang tamuku. Aku.. harus.. menyendiri.
***
Dan kini, kembali Aku diberondongi pertanyaan sama yang dipenuhi duri.
“Menulis, untuk apa?”
“Jangan hamburkan pohon dan kertas untuk karya-karya tak bernilai!”
“Cih.. EYD saja masih tak becus, diksi saja masih berantakan, kenapa memaksakan diri membuat buku?”
Padahal rasanya, setiap buku yang kutulis bertujuan untuk melihat kebaikan, mengajak pada kebaikan, dan kembali pada kebaikan. Sementara diluar sana, begitu viral puisi yang melecehkan adzan, beredar banyak tulisan yang merendahkan Tuhan, terpajang di rak karya-karya perihal kebebasan. Apakah mungkin itulah yang dimaksud minat pasar?

Cukup!!
File-file memori ditutup kembali. Sepertinya tak ada gunanya lagi Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tak ada manfaatnya kucari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Karena Aku sudah mati, menjadi abadi tak lebih dari sekedar mimpi.

No comments:

Post a Comment