Sekian hari tanpa menulis, sekian masa tanpa berkarya. Serona telah
bercerai dengan pena, dicampakkan oleh tinta, dan ditinggal pergi
ide-ide cerita. Aku mati, merasa abadi tak lebih dari sekedar mimpi.
Bukan tanpa alasan, selain karena Aku disibukkan oleh seorang bayi
kecil yang bernama Zhira, fikiran ini disibukkan pula mencari jawaban
atas sebuah evaluasi.
“Untuk apa Aku menulis? Apa yang kuhasilkan dari menulis? Apa yang kan kukejar dari menulis?”
…
Tak kunjung menemukan jawaban, maka Aku membuka file-file memori didalam folder history.
***
Satu memori ketika berhasil memunculkan karya, setelah berbulan-bulan
lamanya menghabiskan malam hanya untuk melahirkan beberapa lembar
tulisan. Bersusah-susah, berpayah-payah, namun tetap bersuka cita
menyodorkan karya tersebut ke berbagai penerbit.
Apakah diterima?
Tidak. Karyaku tak sesuai dengan minat pasar, itu jawaban mereka.
Aku mencoba berlapang dada, mencoba lagi penerbit-penerbit yang
tersisa. Hingga terpaksa mencetak bukuku sendiri, dengan uang tabungan
sendiri.
***
Dua memori dihadirkan, ketika mempromosikan buku hasil karyaku kepada
semua kawan yang kukenal. Beberapa grup di WhatsApp, berisi semua
kawan-kawan sekolahku dulu, pun kedalam grup teman-teman kerja. Dengan
kembali bersuka cita Aku menawari mereka.
Apakah diterima?
Lagi-lagi tidak. Hanya sesaat setelah postinganku muncul, grup
mendadak sepi. Hanya satu dua kawan yang memberi simbol jempol, tanpa
diterusi ke arah maksud untuk membeli. Aku harus menerima kenyataan
bahwa karyaku sepi peminatnya, tak ada yang bersedia membelinya. Namun
setelah kutambahi kata GRATIS, barulah berbondong-bondong mereka
meminta. Aku hanya bisa bertanya dalam hati, serendah itukah nilai karya
ini?
***
Tiga memori didatangkan. Waktu mencoba bekerjasama dengan pelapak
buku musiman. Beberapa eksemplar kuberikan, dengan persetujuan atas laba
besar yang Ia minta. Tak apa, meskipun Aku jelas merugi, tapi yang
penting ada rasa bangga bukuku terpajang di raknya. Tak sedikitpun
menyangka, jika lapak tersebut tiba-tiba tutup tanpa ada konfirmasi. Dan
bukuku pun hilang dibawa pergi.
Bertahun-tahun kemudian baru kutemukan lagi di tempat yang lain, dan
penjual sama yang malu-malu menyembunyikan diri. Ingin sekali marah,
tapi untuk apa. Itu hanya akan mempermalukannya dihadapan umum. Akupun
pergi, sibuk menanyai diri sendiri, apa bukuku memang bernilai rendah?
Sungguh, apakah semua tulisanku itu tak ada artinya??
***
Empat memori mendobrak pintu, hanya sesaat setelah sang norma bertandang di ruang tamuku. Aku.. harus.. menyendiri.
***
Dan kini, kembali Aku diberondongi pertanyaan sama yang dipenuhi duri.
“Menulis, untuk apa?”
“Jangan hamburkan pohon dan kertas untuk karya-karya tak bernilai!”
“Cih.. EYD saja masih tak becus, diksi saja masih berantakan, kenapa memaksakan diri membuat buku?”
Padahal rasanya, setiap buku yang kutulis bertujuan untuk melihat
kebaikan, mengajak pada kebaikan, dan kembali pada kebaikan. Sementara
diluar sana, begitu viral puisi yang melecehkan adzan, beredar banyak
tulisan yang merendahkan Tuhan, terpajang di rak karya-karya perihal
kebebasan. Apakah mungkin itulah yang dimaksud minat pasar?
…
Cukup!!
File-file memori ditutup kembali. Sepertinya tak ada gunanya lagi Aku
menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tak ada manfaatnya kucari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Karena Aku sudah mati, menjadi abadi tak lebih dari sekedar mimpi.
No comments:
Post a Comment