“Lantainya dingin” itu komentar mereka di
kali pertama, hanya sesaat setelah melepas sandal dan menjejakkan kaki
di lantai tiga. Tak lama, hingga disusul oleh kalimat-kalimat
berikutnya.
“Kalo loker Abi yang mana?”
“Waah.. Komputernya gede sekali Abi..”
“Ari tombol-tombol ini teh buat apa aja Abi?”
Dan rentetan kalimat-kalimat lain yang
meluncur sedemikian deras. Terang saja, mereka baru sekarang ini bisa
berkunjung kemari. Datang untuk melihat ruangan tempatku bekerja. Meski
hari semakin senja, dan udara dingin kian lama kian menajamkan rasa, hal
itu tak lantas membuat gerak kaki-kaki kecil mereka memelan. Tetap
bersemangat mengikuti langkahku, tetap nyaring berceloteh ini itu.
Zahdan bahkan sudah mengusap ingusnya
berkali-kali. Udara dingin telah berhasil membuat hidungnya meleleh.
Sementara Bika kecil, berlari-lari tanpa peduli. Naik turun kursi tiada
henti. Aku sampai harus erat memegangi tangannya, khawatir Ia menyenggol
tuas atau tombol, salah-salah bisa panjang nanti urusannya.
Usai berkeliling, mereka masing-masing
duduk nyaman di kursi besar, memperhatikan televisi yang tengah memutar
film superhero. Zahdan yang paling antusias, pupil matanya membesar
melihat iron man yang menembakkan laser dari kedua tangannya.
Duh, kau bisa lebih hebat dari superhero
itu nak. Aksi Iron man itu tak ada apa-apanya dibanding saat tempo hari
Kau pulang dari mesjid. Ketika itu Kau melihat ada sampah plastik di
jalanan, lalu tanpa disuruh Kau tiba-tiba saja memungutnya, kemudian
membuangnya ke tempat sampah terdekat. Aksi Itu adalah aksi yang lebih
heroik ketimbang laser iron man, beratus kali lebih nyata kebaikannya.
Sedangkan Ziya, langsung terduduk dengan
tenangnya. Tepat disamping Armida yang tak lepas menggigiti jarinya.
Ziya sudah tahu, di tempat inilah Aku melahirkan cerita-cerita putri
jelmaan darinya. Tiga Putri.. Empat Putri.. Dan entah berapa Putri lagi
yang kan terlahir disini. Meski kutahu keberadaannya seringkali dihantam
kenyataan yang menduri. Menarik dan merantainya kembali ke kandang
imajinasi.
Apapun, kunjungan ini bak menyeret waktu
kembali ke masa lalu. Kala Aku pertama kali menginjakkan kaki di lantai
dingin ini. Menatap kelam angkasa malam, lewat jendela kaca yang
setengah terbuka. Melihat hamparan lembah dan kota, dengan nyala lampu
yang lebih ramai dibanding bintang diatasnya. Merasakan hembusan angin
yang datang menusuk, menggigilkan kulit jauh hingga ke rusuk.
Tapi lihatlah.. Aku disini nyaris sendiri.
Jauh dari keramaian yang selalu kubenci. Tiada wajah-wajah tawa yang
bertopengkan duka, tak ada obrolan-obrolan palsu penuh bumbu, dan tak
ada pula sangkaan-sangkaan yang menyakitkan. Ini selayaknya dunia mimpi
dimana Aku melulu bersembunyi.
Disini Aku bisa bercerita entah pada siapa,
dan Aku bisa berkisah entah untuk siapa. Lantai dingin yang kuinjak,
membuatku membeku dalam dunia baru. Tak hendak beranjak, pun tak mau
berlalu. Sebuah dunia yang kuyakin teramat sedikit yang bisa mengerti
hal itu.
“Bika mau jajan?” tanyaku. Yang ditanya langsung mantap mengangguk.
“Jajan.. Bika mau jajan..” celotehnya,
menggemaskan siapapun yang mendengarnya. Lebih menggemaskan lagi ketika
melihatnya tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih mungil miliknya
yang berbaris begitu rapihnya.
“Jahdan juga mau jajan, Abi!!” kata Zahdan,
tak mau kalah. Dalam beberapa keadaan, anak ini memang terkadang
menganggap Bika adalah rivalnya.
Aku tersenyum, Zahdan ikut terkekeh. Sebuah lesung pipit tersemat manis di sebelah pipinya.
“Kalo gitu, Ayo..!” kataku, sembari bangkit dan melangkah pergi.
Anak-anak itu ikut melompat bangkit, lalu
berlari mengikutiku dengan sigap. Kaki-kaki kecil mereka menjejak lantai
yang dingin sambil sesekali bergidik.
“Hiii….Dingiiin!!” ucap mereka, hampir bersamaan.
No comments:
Post a Comment