17/07/2018

Lantai yang Dingin

“Lantainya dingin” itu komentar mereka di kali pertama, hanya sesaat setelah melepas sandal dan menjejakkan kaki di lantai tiga. Tak lama, hingga disusul oleh kalimat-kalimat berikutnya.
 
“Kalo loker Abi yang mana?”
 
“Waah.. Komputernya gede sekali Abi..”
 
“Ari tombol-tombol ini teh buat apa aja Abi?”
 
Dan rentetan kalimat-kalimat lain yang meluncur sedemikian deras. Terang saja, mereka baru sekarang ini bisa berkunjung kemari. Datang untuk melihat ruangan tempatku bekerja. Meski hari semakin senja, dan udara dingin kian lama kian menajamkan rasa, hal itu tak lantas membuat gerak kaki-kaki kecil mereka memelan. Tetap bersemangat mengikuti langkahku, tetap nyaring berceloteh ini itu.
 
Zahdan bahkan sudah mengusap ingusnya berkali-kali. Udara dingin telah berhasil membuat hidungnya meleleh. Sementara Bika kecil, berlari-lari tanpa peduli. Naik turun kursi tiada henti. Aku sampai harus erat memegangi tangannya, khawatir Ia menyenggol tuas atau tombol, salah-salah bisa panjang nanti urusannya.
 
Usai berkeliling, mereka masing-masing duduk nyaman di kursi besar, memperhatikan televisi yang tengah memutar film superhero. Zahdan yang paling antusias, pupil matanya membesar melihat iron man yang menembakkan laser dari kedua tangannya.
 
Duh, kau bisa lebih hebat dari superhero itu nak. Aksi Iron man itu tak ada apa-apanya dibanding saat tempo hari Kau pulang dari mesjid. Ketika itu Kau melihat ada sampah plastik di jalanan, lalu tanpa disuruh Kau tiba-tiba saja memungutnya, kemudian membuangnya ke tempat sampah terdekat. Aksi Itu adalah aksi yang lebih heroik ketimbang laser iron man, beratus kali lebih nyata kebaikannya.
 
Sedangkan Ziya, langsung terduduk dengan tenangnya. Tepat disamping Armida yang tak lepas menggigiti jarinya. Ziya sudah tahu, di tempat inilah Aku melahirkan cerita-cerita putri jelmaan darinya. Tiga Putri.. Empat Putri.. Dan entah berapa Putri lagi yang kan terlahir disini. Meski kutahu keberadaannya seringkali dihantam kenyataan yang menduri. Menarik dan merantainya kembali ke kandang imajinasi.
 
Apapun, kunjungan ini bak menyeret waktu kembali ke masa lalu. Kala Aku pertama kali menginjakkan kaki di lantai dingin ini. Menatap kelam angkasa malam, lewat jendela kaca yang setengah terbuka. Melihat hamparan lembah dan kota, dengan nyala lampu yang lebih ramai dibanding bintang diatasnya. Merasakan hembusan angin yang datang menusuk, menggigilkan kulit jauh hingga ke rusuk.
 
Tapi lihatlah.. Aku disini nyaris sendiri. Jauh dari keramaian yang selalu kubenci. Tiada wajah-wajah tawa yang bertopengkan duka, tak ada obrolan-obrolan palsu penuh bumbu, dan tak ada pula sangkaan-sangkaan yang menyakitkan. Ini selayaknya dunia mimpi dimana Aku melulu bersembunyi.
 
Disini Aku bisa bercerita entah pada siapa, dan Aku bisa berkisah entah untuk siapa. Lantai dingin yang kuinjak, membuatku membeku dalam dunia baru. Tak hendak beranjak, pun tak mau berlalu. Sebuah dunia yang kuyakin teramat sedikit yang bisa mengerti hal itu.
 
“Bika mau jajan?” tanyaku. Yang ditanya langsung mantap mengangguk.
 
“Jajan.. Bika mau jajan..” celotehnya, menggemaskan siapapun yang mendengarnya. Lebih menggemaskan lagi ketika melihatnya tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih mungil miliknya yang berbaris begitu rapihnya.
 
“Jahdan juga mau jajan, Abi!!” kata Zahdan, tak mau kalah. Dalam beberapa keadaan, anak ini memang terkadang menganggap Bika adalah rivalnya.
 
Aku tersenyum, Zahdan ikut terkekeh. Sebuah lesung pipit tersemat manis di sebelah pipinya.
 
“Kalo gitu, Ayo..!” kataku, sembari bangkit dan melangkah pergi.
 
Anak-anak itu ikut melompat bangkit, lalu berlari mengikutiku dengan sigap. Kaki-kaki kecil mereka menjejak lantai yang dingin sambil sesekali bergidik.
 
“Hiii….Dingiiin!!” ucap mereka, hampir bersamaan.
WhatsApp Image 2018-05-24 at 21.16.01

No comments:

Post a Comment