Kau ingat nak, ketika saudara
sepupumu tengah mengalami kesulitan yang teramat berat. Padahal usianya barulah
terbilang 3 tahun, 2 tahun lebih muda darimu. Ya, sebut saja namanya 'S'.. S
adalah anak pertama dan satu2nya dari sepasang suami istri yang masih terbilang
cukup muda, mereka hanya terpaut beberapa tahun di atas usia abimu ini.
Sayangnya, sekian tahun pernikahan
berjalan, sudah muncul percik2 api yang membakar ikatan suci mereka. Isu
perceraianpun muncul. Semua keluarga besar dari kedua belah pihak terus menerus
membujuk mereka agar tetap mempertahankan pernikahan mereka tersebut. Mediasi
pun dilakukan, berulang kali bahkan. Sampai berujung sidang di pengadilan yang
tak kunjung usai.
Suatu ketika, kembali timbul
masalah, sang suami dipergoki tengah berada di rumah seorang perempuan, kita
namai saja ia 'X'. Keluarga pun diberitahu, sayangnya..sebagian besar dari
mereka sudah enggan untuk ikut campur dalam masalah yang telah berlarut2 sekian
tahun ini. Akhirnya, karena tak ada lagi yang mau turun tangan, abimu inilah
dan seorang bibi dari pihak laki2 yang diharuskan mewakili pihak keluarga untuk
mengadakan mediasi.
Singkat cerita, mediasi tak
berjalan dengan baik, malah mengarah pada perceraian (lagi) dan pernikahan
kedua bagi sang suami.
'Omong kosong!!' kataku tiba2. Semua yang hadir
terdiam,menatapku heran. Mungkin mereka tak menyangka aku yang jarang sekali
berbicara di muka umum, apalagi dengan kata2 yang cukup kasar seperti itu. 'Kau !! Apa kau memang berniat menikahi X? Ya
atau tidak?' tanyaku sembari menunjuk sang suami. Yang ditunjuk terdiam
cukup lama, lalu menjawab 'kalau istri
saya masih...' jawabnya yang dengan cepat kupotong. 'pertanyaan saya bukan begitu, Ya atau Tidak, kau berniat menikahi X?'
tanyaku tegas. Sang suami kembali terdiam lama, seluruh yang hadir menatap yang
ditanya. Beberapa saat kemudian, ia menjawab 'iya' ujarnya. Aku lalu bertanya lagi 'lebih besar mana, sayangmu terhadap X, atau sayangmu terhadap S anakmu?'
tanyaku. Ayah dari X yang ikut hadir disana hendak memotong, namun kularang
dengan tegas 'bapak diam dulu, saya sedang
bertanya!' ujarku. Tampak ia tersentak, terdiam mati kata. Aku lalu kembali
menatap tajam sang suami. Cukup lama ia terdiam, lalu ia menjawab 'lebih besar sayang ke S' katanya lirih.
Tak memberi kesempatan rehat, aku lalu memberondongnya kembali dengan
pertanyaan menohok berikutnya, 'bisa
tidak, demi sayangmu kepada S, kau jauhi X?' tanyaku. Ayahnya X kembali
hendak memotong, 'sebentar a...' tak
sempat ia menghabiskan kalimatnya, sudah kupotong kembali. 'tunggu pa, bapak tolong diam dulu, saya
sedang bertanya !' kataku dengan nada sedikit lebih tinggi.
Sang suami kembali tertunduk, diam
tak berkata. 'hubungan dengan anak itu ga
bisa dipisahkan..' ujarnya, terbata. 'saya
tahu, dan pertanyaan saya bukan itu, bisa tidak kau jauhi X demi sayangmu
kepada S?' kataku lagi, sembari gemetar menahan marah.
Sayangnya, jawaban belum
kudapatkan, sang bibi ikut berujar 'jawab
saja..masalah nanti kau mau menikahi siapapun itu beda lagi.' katanya.
Suasana kembali hening, tak ada
yang berkata. Aku kembali menumpahkan kekesalanku. 'kalian itu ya, sudah sering dihadapkan pada keadaan semacam ini. Dan
alasannya klasik, kuno, itu2 saja, suami ga suka kelakuan istri, istri ga
terima kelakuan suami. Dan yang saya ga suka, dua2nya bilang sayang sama S'
kataku, menarik nafas sebentar, lalu kembali melanjutkan. 'suami ingin istrinya ngerti, istri juga sama minta suaminya paham, tapi
apa kalian pernah tanya, apa keinginan S?' tanyaku sedikit membentak. ' S cuma ingin kasih sayang ibu sama ayahnya,
titik. Bukan ibu tiri, bukan ayah tiri. Kalian tak pernah ngerti karena kalian
sibuk dengan urusan masing2, sibuk liat kesalahan istri, dan sibuk mencari2
kesalahan suami. Sementara anak diombang ambing sendiri. Apa kalian ga ngerti
juga?' paparku. Semua yang hadir terdiam.
Aku kembali menumpahkan kata2
pedas, 'kalau kalian masih juga sibuk
dengan masalah2 ini, besok bereskan baju2 S, akan kubawa S ke panti asuhan,
biar kalian bebas dengan urusan kalian. Toh di panti asuhan jelas2 ada yang
bakal menyayangi S. Dan saya punya kenalan pengasuh panti asuhan, orangnya bisa
dipercaya.' kataku panjang lebar. Tampak sang istri dan ibunya yang
mendampinginya mulai menangis, terisak. 'ga
mungkin..saya yang melahirkannya, mana mungkin saya tega masukin S Ke panti
asuhan..' ujar sang istri terbata. 'lantas
kau akan membiarkan S hidup dengan masa kecil seperti ini? Siapa yang bisa
menjamin jika S hidup terus dengan keadaan ini ia nanti akan punya masa depan
baik? Bisa saja ia jadi orang jahat, preman, baragajul.' ujarku.
Ibu sang istri pelan berkata 'iya, tapi anak saya juga pernah bilang, jika
bukan karena S ia tak mungkin bertahan sejauh ini, tapi bagaimana bisa hidup
serumah dengan suami yang berkelakuan seperti itu..' kata2nya langsung
kupotong. 'Omong kosong..!! Omong kosong mereka berdalih sayang pada S,
sementara sikapnya masih egois memikirkan urusan masing2. Apa yang kita bahas
sekarang ini cuma akarnya, sedangkan intinya hanya satu, sayang pada S. Jika
kalian punya sayang yang besar pada S, masalah sepelik apapun, tak akan bisa
membuat kalian pecah !.' bentakku lagi. Hening..suasana hening kembali,
semua yang hadir terdiam.
Akhirnya, Aku berdiri, setelah
sebelumnya sang ayah dari X berkata bahwa ia juga tidak akan mengizinkan sang
suami menikahi X jika masalahnya ternyata seperti ini. Antara percaya dan tidak
pada kata2nya, aku tak peduli lagi. 'sudah..
Bubar saja, Saya mau jemput anak saya sekarang.' kataku acuh. Satu persatu
yang hadirpun berdiri, bersalaman tanggung, lalu membubarkan diri.
Nak, entahlah.. Mungkin abimu ini
berdosa tlah berani2nya membentak mereka yang usianya lebih tua. Tapi apa mau
dikata, karena ternyata semua kata2 sayang mereka selama pacaran bertahun2,
semua janji suci mereka diwaktu akad nikah, semua pesta pernikahan mereka yang terbilang
mewah, semua ikrar sayang pada S sang anak, itu semua tidak bisa membendung
keinginan untuk sebuah perceraian.. Omong kosong bukan?