05/04/2013

First Day School

Tanggal 16 Juli 2012, adalah hari pertama ziya bersekolah. Setelah beberapa hari sebelumnya ia sangat antusias membeli peralatan2 sekolahnya, mencobai baju2 seragamnya, dan setiap kali ia melewati sekolah tersebut zia selalu mengoceh "Abi, nanti zia sekolahnya disini ya?", "Abi lihat..!! itu sekolah ziya..!" "waah..sekolah ziya warna warni, bagus ya abi..!!" celotehnya. "Iyyaaa..." jawabku.
Suatu kali, aku bertanya pada ziya "Mmm.. ziya tau ga, sodara ziya kan mau sekolah juga, tapi katanya sekolahnya mau di yang warna hijau, bukan di yang warna warni, sekolah yang hijau itu yang sekolahnya deket, kalo yang warna warni mah lumayan jauh. Tetangga ziya juga sekolahnya mau disana. Kalo ziya, gimana?" tanyaku. Ziya terdiam sesaat, lalu menjawab dengan mantap "ziya mah mau sekolah di yang warna warni aja ah." jawabnya. "bener?" tanyaku memastikan. Ziya lalu mengangguk. "ga apa2 ngga satu sekolah sama sodara ziya?" tanyaku lagi. "ga apa2..!" jawab ziya tanpa ragu. Dan jadilah ziya seorang diri yang didaftarkan di sekolah ini, TK Al-Wasilah.. berbeda dengan teman2 sekomplek dan saudara2 seusianya. Tak mengapa, ini adalah keputusan ziya. Akupun bangga melihat ziya kecil ternyata sudah berani mengambil keputusan besar.
Mulanya aku hendak memasukannya di kelas kober, akan tetapi seorang guru yang baik meyakinkan kami untuk langsung saja mendaftarkannya ke TK A. Entahlah, aku sempat ragu ziya akan bisa cepat beradaptasi di tingkat ini.
Hari yang dinanti pun tiba, kami memasuki gerbang sekolah yang sudah ramai dipenuhi anak2 dan para orang tuanya. Tampak para guru2nya berjejer di gerbang masuk, menyalami anak dan orang tua yang baru datang.
Singkat cerita, ziya sudah berada di kelas, terdiam mengamati keadaan kelasnya. Melihat gambar2 yang ditempel di dinding, benda2 menarik yang tergantung di langit2, dan banyak sekali anak2 lain yang memakai baju seragam yang sama dengan dirinya.
Dua menit, lima menit, 10 menit berlalu, ziya mulai merasa tidak nyaman.. Ia merajuk, menarik2 tanganku minta ditemani. Aku pun mendudukannya di pangkuanku, lalu mencoba menyapa anak2 lain, dan mengenalkannya pada ziya, berharap hal tersebut bisa sedikitnya membantu ziya dalam beradaptasi. Tapi sebentar kemudian ziya kembali bertingkah, menggigiti kerudungnya, lalu kian merajuk minta pulang. Bujukan gurunya tak sedikitpun digubrisnya. Berulang2 aku membujuk ziya agar terus bertahan.. namun inilah ziya, ia tak suka berada di lingkungan yang baru, dengan kegiatan2 baru diluar kesehariannya. Keringatku mulai mengalir, di tengah kelas yang terasa kian sesak, dan sikap ziya yang membuatku kebingungan harus berbuat apa. Lalu, mendekatlah ummi ziya, mengambil alih ziya dari tanganku, dan memaksanya tetap mengikuti kegiatan kelas dengan wajah yang dingin. Ziya semakin meronta, memanggil namaku berulang2. "abii.. pengen sama abii..!" ujarnya sambil menangis. Aku terdiam, iba menatapnya menangis seperti itu, meronta tanpa bisa lepas dari pegangan umminya, yang seolah tak peduli dengan tangisannya. "harus tega, biar bisa mandiri" kata umminya. Aku menurut saja, berfikir..apa tak ada cara yang lebih menyenangkan untuk membuatnya tetap bertahan.
Jam 10 pagi, kelaspun usai. Dan ziya tak mau berbaris seperti anak2 yang lain. Ummi ziya lalu memeganginya, memaksanya untuk ikut berbaris. Ziya menangis, menurut..yang penting bisa segera pulang.. fikirnya.
Hari kedua, ziya kembali bersemangat saat memakai seragam yang berbeda, bersemangat saat berangkat ke sekolah, namun.. kembali menangis saat di kelas.
Hari ketiga, ziya sudah mulai bisa membiasakan diri, memperhatikan saat gurunya bernyanyi lagu yang menyenangkan, dan alis berkerut ketika diucapkan slogan2 yang mendidik. ziya kecil duduk di kursi berwarna pink di samping gurunya, seolah kursi tersebut memang disediakan hanya untuk ziya, sementara anak2 yang lain duduk dengan manisnya di atas karpet.
Beberapa hari kemudian, ziya sudah berani ke depan kelas, menulis dengan menggunakan spidol. Dan setiap kali dibonceng pulang dari sekolah, ia seringkali terdengar bersenandung.. "ilaa liqo.. ilaaaa liqo..sampai berjumpa lagi satu dua..." ujarnya. Aku tersenyum mendengarnya..
Nak, mungkin kau tak pernah tahu, bukan hanya kau yang belajar di kelas tersebut. Abimu ini juga berusaha untuk menghafal lagu2 yang dinyanyikan olehmu, kata2 slogan yang diteriakan teman2mu, dan cara gurumu dalam menghadapi anak2 seusiamu. Karena kau tahu sendiri, sehari2 abimu ini "bercakap2" dengan mesin, berbahasa dengan angka dan data, malah mungkin telah "tertular" sifat kaku si mesin. he..  tak heran, kebingunganlah yang didapatkan ketika harus mengajarimu. Satu kata yang teringat.. Mumtaz.. istimewa. Kau ini istimewa bagiku nak.. dan itulah yang membuat "si mesin" ini belajar untuk memberikan yang terbaik. Belajar mengulang kembali lagu2 yang dinyanyikan di sekolah, belajar meniru gerakan2 sang pemberi ilmu yang bisa membuat kau tertawa kegirangan, semua demi yang teristimewa..
Meski pada kenyataannya, banyak hal yang tak sesuai dengan yang kita inginkan. Kau tak bisa berangkat ke bogor bersama teman2mu karena aku tak bisa meninggalkan ummi dan adikmu di perutnya, aku tak bisa membawamu melihat parade drum band cilik karena kunjungan nenekmu dari luar kota, dan terakhir..kita tak bisa jalan santai bersama kelasmu karena jadwal kerja "si mesin" ini.. semoga kelak kau mengerti..
Hmph.. Hampir satu tahun sudah ziya bersekolah di TK ini, dan Alhamdulillah..banyak sekali hal positif berkembang pada dirinya. Keputusannya dulu sungguh tidaklah mengecewakan. Seperti usai shalat maghrib di masjid tadi, ziya kecil tiba2 saja memelukku dari belakang, lalu berbisik dii telinga kananku.. "ziya sayang abi..karena Allah.." ujarnya. Aku tersenyum haru, "iyaa.. abi juga..".

 

No comments:

Post a Comment