17/05/2020

Surat Aini


Surat, setidaknya ada dua fragmen novelku yang menuturkan perihal itu. 

Pertama, lembaran kata yang diserahkan Nur pada Ipah, dalam novel “Perihal Nurla, Antara Fiksi dan Kisah Nyata”. Kedua, untaian kalimat yang dituliskan Yudha untuk Aini, dalam novel “Lorong Waktu di SMK 1”.

Ah, anak sekarang mungkin tak cukup mampu mengindera filosofi surat. Ketika teknologi pesan bisa begitu mudah disampaikan menggunakan telfon, voice note, video call, ataupun chat, sebuah surat boleh jadi hanya dipandang sebelah mata. Bagi mereka, surat adalah cara primitif dan menyulitkan dalam menyampaikan pesan.

Bagaimana tidak? Dalam surat, tak pernah berlaku hukum copy-paste, tidak tersedia tombol backspace atau delete, serta tak akan ditemukan pula fasilitas stiker atau emoji. Bahkan, ketika surat itu dibaca, kau tak akan lantas mendapatkan notif centang dua. Kau justru akan dibuat tersiksa dan terus bertanya-tanya.

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan.

Semakin tersiksa, tatkala surat yang kau kirim itu memuat jujurnya rasa. Akankah berakhir dengan pinangan? Atau justru bertepuk sebelah tangan? Ehem, he..

Ya, menulis surat memang istimewa. Terlepas dari tulisan tanganmu berantakan atau tidak, kata-kata di dalamnya selalu saja mengandung sentimen tersendiri. Maksudku ... ayolah, apa serunya mengetik langsung kata ‘suka’? Bukankah apa yang sesungguhnya kau rasa, tak pernah sesederhana deretan empat huruf tersebut? Pun boleh jadi, dari ribuan emoji atau stiker itu, tak ada satupun yang bisa mewakili perasaanmu.

Benar, kan?

Baiklah, supaya lebih paham, di bawah ini ada untaian surat yang ditulis Yudha untuk Aini dalam novel Lorong Waktu di SMK 1, Bab 7, hal 57-59.

Assalamu’alaikum,

Teriring ucapan salam yang tulus sebagai tanda penghormatanku wahai Aini. Maaf beribu maaf, sungguh maafkan kelancangan sekaligus kebodohanku berani-beraninya mengirimkan surat ini. Namun mau bagaimana lagi? Aku tak pernah mampu untuk mengatakannya secara langsung di hadapanmu. Aku terlalu bodoh untuk mengatakannya langsung padamu.

Semula, ingin kutelan saja semua kata-kata ini dalam penjara hatiku. Tetapi apa daya, barisan hurufnya kian hari kian meluas ... kian mendalam. Terus mendalam ke ujung perasaanku yang terdalam. Hingga Aku tak mampu lagi untuk membuat untaian aksaranya lemah terbungkam.
Aini, perihal jatuh hati adalah ibarat tersetrum. Jantungmu akan kencang berdegup, jemarimu akan serasa dirubung semut, perasaanmu akan mendadak kalut, serta pikiranmu akan bergelombang kusut.

Tak hanya itu, setampuk anganmu ’kan terombang-ambing layaknya gelombang sinusoida. Sentimen rindumu ’kan merapat seperti fluks elektromagnetika, dan logika cintamu akan lebih rumit dari rangkaian elektronika.

Duh ... Efek yang dahsyat sekali bukan?

Dan celakanya, efek itulah yang tengah menghantamku. Memalu, hanya sesaat setelah bertemu denganmu.

Iya Aini, Kamu!

Mendapatkan anugerah ini, sungguh membuatku bahagia sekaligus berduka. Bahagia karena alasan yang tak bisa diungkap dengan kata. Dan berduka dengan alasan yang serupa runyamnya.
Maafkan Aku, mungkin Aku satu-satunya manusia di dunia yang tak layak mendapatkan hatimu. Diukur dari fasa manapun, potensial kita sungguh-sungguh tak sama. Serona langit dan bumi, Kau adalah langitnya, sedangkan Aku adalah lumpurnya. Bagaikan lebah dan bunga, Kau adalah bunganya, sedang Aku adalah cacingnya. Serta tak beda seperti Bangau dan Merpati, Kau sudah terbang di awan, sedangkan Aku masih tertatih berjalan.

Sangat membingungkan. 

Sama membingungkannya dengan alasan Aku menulis surat ini. Karena Aku tak pernah mau namaku terpampang di sudut buku harianmu, Aku hanya mau foto kita terpampang di halaman buku nikah merah hijau itu. Dan Aku tak pernah ingin berjalan bersamamu di sekolahan, Aku hanya ingin bersanding denganmu di pelaminan.

Sungguh ... Sungguh delusi yang terlampau tinggi, tingkat probability yang kecil sekali. Sungguh mimpi yang sangat mustahil terjadi.

Ah sudahlah, lupakan saja. Surat ini kutulis hanya agar Aini tahu, bahwa ada seorang biasa di belahan bumi ini yang telah jatuh hati padamu.

Wassalamu’alaikum
                                                                                                                        Ttd
                                                                                                                        YAP

No comments:

Post a Comment