“Ayah, aku ingin menjadi astronaut!” kataku, lantang.
Waktu itu usiaku barulah lima berbilang.
Ibu dan kakakku langsung tersenyum, mereka melangitkan
puji dan mendukung. Mengatakan bagus-lah, mengucapkan hebat-lah. Menunjukkan
rasa bangga mendengarku memiliki mimpi setinggi itu.
Sedangkan ayah, beliau hanya menyeringai hambar.
Mendekat, lalu mengelus rambutku dengan telapak tangannya yang kasar. Kepalanya
tak mengangguk mengiyakan, tidak pula menggeleng menidakan. Tak terukir di
wajahnya perasaan senang. Seolah mimpiku itu tak lebih dari kata-kata semata.
Kalimat tak berisi dari seorang anak ingusan yang berusia lima.
Ayah tak tahu, hampir setiap malam aku memimpikan hal
itu. Mengenakan seragam pelindung luar angkasa, mengendarai pesawat antariksa, mendarat
di bulan, kemudian menancapkan bendera Indonesia. Di bulan, aku bisa
berlari-lari tanpa terikat gravitasi, melompat-lompat begitu tinggi, serta
melayang-layang sesuka hati.
Dan yang pasti, aku pun bisa menulis nama ayah di atas
bulan sana. Huruf demi hurufnya ‘kan kuukir indah dengan abjad yang besar.
Sedemikian besar sehingga terbaca jelas di berbagai wilayah bumi. Termasuk
kampung kecil tempat keluargaku berada.
Lihat saja, ketika nanti ayah mendapat giliran berjaga di
pos ronda, lalu menengadahkan kepala melihat bulan purnama, ayah pasti akan
terkejut bukan buatan. Sangat terkejut bahkan! Lelaki perajin kayu itu tentunya
tak akan lagi hanya menyeringai hambar.
Ayah justru akan berkata dengan bangga pada kawan tetangga.
Itu anakku! Yang menulis di bulan itu adalah anakku!
Pagi berganti pagi, siang berganti siang, dan malam
berganti malam. Belakangan, baru aku tersedak paham. Profesi astronaut sesungguhnya
teramat jarang, hanya ada segelintir sepanjang sejarah tertuang. Calon astronaut
tak asal comot, dan mereka tak direkrut berdasarkan niat semata.
Lebih jauh, seorang astronaut tak mungkin berijazah hanya
SMK, sarjana strata satu pun kecil kemungkinannya. Untuk menjadi astronaut
perlu sekolah yang lebih tinggi lagi, perlu ilmu yang lebih dalam lagi. Aku
harus melulu sekolah, hingga kuliah di luar negeri pun dianggap lumrah.
Itu artinya, butuh biaya-biaya yang berkali lipat
banyaknya. Biaya hidup dan sekolah, biaya buku yang tak murah. Sesuatu yang tak
mungkin lagi ditanggung di pundak seorang perajin kayu.
Ya, tampaknya ayah sudah tahu sedari dulu, bahwa aku tak
akan mungkin menjadi astronaut.
***
“Ayah, aku ingin menjadi pilot!” ucapku, tegas.
Kala itu usiaku belum genap sebelas.
Ibu dan kakakku langsung tersenyum, mereka memberi puji
dan mendukung. Mengatakan bagus-lah, mengucapkan hebat-lah. Terlihat bangga
mendengarku memiliki mimpi segagah itu.
Sedangkan ayah, lagi-lagi beliau hanya menyeringai
hambar. Mendekat, lalu menepuk pundakku dengan tenaga yang ringan. Kepalanya
tak mengangguk mengiyakan, tidak pula menggeleng menidakan. Seolah mimpiku itu adalah
air yang dangkal. Tak berisi ikan, hanya bongkahan kecil bebatuan. Cuma tekad
sepele dari anak remaja tanggung dan berjiwa bimbang.
Ayah tak tahu, hampir setiap hari aku memikirkan hal itu.
Melesat menerbangkan pesawat, meliuk di antara kumulus, menjaga angkasa dari
serangan udara. Dengan menjadi pilot, aku bisa melejit sepanjang lengkungan
langit, melayang tenang di belakang barisan camar, atau berpilin-pilin menjalin
angin.
Dan yang pasti, aku juga bisa mengukir nama ayah di udara
yang luas, dengan semburan asap dari ekor pesawat. ‘Kan kutulis huruf-huruf
sambung yang indah sebesar-besarnya. Sedemikian besar hingga seisi dunia bisa
membacanya.
Lihat saja, ketika nanti ayah berjemur di halaman rumah,
kemudian ke arah cakrawala kepalanya menengadah, ayah pasti akan terperangah
bukan kepalang. Sangat terperangah bahkan! Lelaki beruban itu tentu tak akan
lagi menyeringai hambar.
Ayah justru akan berkata pada semua orang. Itu anakku!
Yang menulis di angkasa itu adalah anakku!
Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun
berganti tahun. Belakangan, aku baru tersengal paham. Profesi pilot butuh
kondisi fisik yang menunjang. Bukan hanya ketangkasan, melainkan daya tahan
tubuh atas kondisi yang rawan.
Seorang calon pilot akan melewati berbagai tes yang
teramat selektif, mengikuti pembekalan demi pembekalan yang panjang, serta
ditempa pelatihan ekstrem ribuan jam. Karena ketika terbang, pilot akan
dihadapkan pada kondisi tekanan udara yang berbeda.
Aku, yang secara genetik menderita asma, sudah tentu akan
gagal bahkan pada tes yang pertama. Karena jika dipaksa, bukan tidak mungkin
aku hanya akan megap-megap di angkasa sana. Dan ayah tahu itu! Lelaki beruban
itu sangat tahu perihal itu! Asma adalah penyakit serupa yang dideritanya.
Ya, tampaknya sudah sejak lama ayah merasa, bahwa aku tak
akan bisa menjadi pilot.
***
Lulus dari SMK, aku melamar kerja ke mana-mana. Puluhan
amplop berisi CV kukirimkan ke berbagai perusahaan. Aku sertakan juga lampiran-lampiran
berupa nilai ujian dan kompetensi keahlian. Berharap satu dua perusahaan
tersebut sudi membaca dan menindaklanjuti.
Tak mudah. Karena setiap tahun, lulusan demi lulusan SMK
terus bertambah. Jumlahnya tak pernah sebanding dengan ketersediaan lapangan
kerja yang ada. Alhasil, angka pengangguran semakin membengkak. Aku harus
bersaing dengan banyak sekali para pencari kerja, kian ketat lantaran para
sarjana juga ikut berkompetisi di dalamnya.
Beruntung, seorang kawan memberi brosur sebuah
universitas. Di dalamnya tercantum sebuah penawaran beasiswa. Mimpi yang baru
pun muncul, bersinar terang di atas kepala.
Siapa tahu? Ya, siapa tahu aku bisa mendapat beasiswa?
Mengenyam bangku kuliah dan lulus sebagai Sarjana. Lalu berfoto memakai baju
toga bersama ibu dan ayah, tidakkah itu akan membuat mereka bangga?
Ibu yang berpendidikan hanya setingkat SD, dan ayah yang
lulus terakhir di tingkat SMP,
semestinya bangga memiliki anak yang seorang sarjana. Foto acara wisuda itu
akan diberi bingkai berwarna emas, kemudian dipajang istimewa di dinding ruang
tamu.
Dan ayah, pasti akan berkata pada setiap tamu yang
bertandang. Itu anakku! Yang memakai baju toga itu adalah anakku!
Sebulan setelah mendaftar, aku dinyatakan lolos dan
berhak mendapatkan beasiswa. Gratis biaya satu semester setiap tahunnya. Aku
senang sekali menerima kabar tersebut. Berlari-lari pulang dengan tergesa, ingin
ayah mengetahui berita tersebut secepatnya.
“Ayah, aku mendapat beasiswa! Aku mendapat beasiswa! Aku
bisa jadi sarjana!” kataku, setengah teriak.
Bergetar tanganku kala menyodorkan kertas pemberitahuan
dari universitas itu kepada ayah. Seperti biasa, ibu dan kakak langsung
tersenyum, memuji sekaligus mendukung.
Seperti biasa pula, ayah nyata-nyata hanya menyeringai
hambar. Beliau membaca kertas yang kuberi dengan raut yang datar. Kedua matanya
menelisik di balik kaca, mengkaji angka-angka yang tertera di atas kertas. Kop
surah universitas, nama calon mahasiswa, pemberian beasiswa, potongan biaya
semester, bla bla bla, dan berapa biaya sisanya.
Tak lama, ayah mengembalikan kertas itu padaku tanpa
sepatah pun berkata. Bedanya, ayah tak lagi mengusap kepalaku dengan telapaknya
yang kasar. Beliau pun tak lagi menepuk pundakku dengan tenaga yang ringan.
Alih-alih demikian, ayah tak sedikitpun menatap ke
arahku. Lelaki tua yang semakin dipenuhi uban itu malah terpejam, lalu
menggeleng pelan, memberi penolakan. Aku tercekat, sedikitpun tak mampu untuk
menyanggah.
Ya, ayah memang sudah tua, raganya tak lagi sekuat dulu
di kala muda. Kini tenaganya tak mampu berlama-lama menggergaji, tak kuat
memahat atau memalu. Memang sudah waktunya bagi ayah untuk menikmati masa tua
yang tenang. Sungguh tak pantas bagiku menadahkan tangan meminta biaya.
Akan tetapi, hati kecilku menjerit ingin bertanya. Ayah,
lantas dengan apa aku bisa membuatmu merasa bangga?
***
Tiga tahun setelah itu, aku akhirnya diterima bekerja di
luar kota. Sungguh tiga tahun yang terasa panjang. Karena selama itu, aku terus
berusaha melamar kerja kesana kemari. Menjadi Sales Promotion Boy, menerima
jasa pengetikan, ikut proyek bangunan, apalah saja. Semua agar tak melulu
menjadi beban ayah. Beruntung sekali, pada akhirnya aku bisa bekerja di sebuah
perusahaan, kemudian diangkat menjadi karyawan tetap.
Tiga tahun berikutnya, aku memutuskan untuk menikah. Lalu
setahun kemudian, kami dikaruniai anak perempuan. Seorang anak periang yang
menggemaskan. Anak kecil yang selalu betah berlama-lama dalam gendongan
kakeknya. Aku berusaha sering membawanya berkunjung. Dan dalam sebuah kunjungan,
aku setengah tak percaya melihat pemandangan menakjubkan itu.
Ayah tertawa! Ya, setelah puluhan tahun tak terlihat
senyumnya, lelaki yang semakin renta itu kini tertawa. Saat itulah aku paham,
bahwa ayah juga sebenarnya memiliki mimpi yang tak pernah diutarakannya. Tak
hanya satu mimpi, melainkan dua. Lelaki tua itu ternyata sangat menginginkan
melihat aku mandiri, bekerja seperti pemuda-pemuda lain pada umumnya. Beliau
ingin pula melihat aku berkeluarga, meneruskan garis keturunannya.
Ayah tertawa, saat menyimak celoteh anakku yang melulu
bertanya, bak tak ada jeda.
“Kakek, mengapa sih rambut kakek warnanya putih? Habis
ngecat ya?”, “kakek, mengapa gigi kakek ompong? Sering makan permen ya?”, “kakek,
tahu tidak? Jika sudah besar nanti, aku ingin menjadi apa?”
Di tanya yang terakhir, ayah tertegun sebentar. Lalu
menjawab sambil tersenyum.
“Em, menjadi ... Astronaut?” tebaknya.
Giliran anakku yang mengangkat alis, terperangah tak
percaya dengan jawaban kakeknya. “Lho! Kok kakek bisa tahu sih?”
Ayah tertawa lagi, kemudian mengelus kepala anakku dengan
telapak tangannya yang kasar. Sungguh memori terdalam yang sulit dilupakan.
Sayangnya, momen bahagia itu tidaklah lama. Karena dua tahun kemudian, ayah meninggal dunia, tepat di usianya yang ke-65. Aku tersentak tak berdaya. Ingin menolak, namun percuma. Ingin memberi bangga-bangga yang lain, tetapi semua itu tidaklah mungkin.
Yang bisa kulakukan hanya bermimpi, mimpi bertemu kembali, mimpi melihatnya tertawa sambil berkata, itu adalah anakku! Yang membuatku bangga itu adalah anakku!
TAMAT
No comments:
Post a Comment