Kalender
duduk itu masih jua terduduk di rak penyekat. Entah sudah berapa puluh kali Aku
menatapinya lekat-lekat. Menekuri saat demi saat berjalannya tenggat, menghitung
satu demi satu bergulirnya waktu, serta menandai angka demi angka terlewatinya masa.
Tak heran, jika 31 bilangan yang terpampang di hadapan, ternyata telah ditandai
hampir keseluruhan. Dan serona hari-hari sebelumnya, berpuluh angka itu seperti
beterbangan mengelilingiku, bergerombol menanyaiku, ramai-ramai menyudutkanku.
Mereka
datang merasuki, menjejali setiap inci bagian otak sebelah kiri. Membuat kongsi-kongsi,
federasi-federasi, bahkan asosiasi-asosiasi. Yang satu dan lainnya saling
tersambung, dengan penghubung berbagai tanda operasi hitung. Setumpuknya
ditambah kemudian dikurangi, hasilnya dikali lalu dibagi-bagi. Selesai?
Ternyata
tidak. Angka-angka hasil operasi itu kembali lagi membentuk kongsi-kongsi, federasi-federasi,
pun asosiasi-asosiasi. Yang untuk kemudian mereka disambung dan dihitung,
ditambah dan dikurangi, lagi.. lagi.. dan lagi.
Tak
kurang dari delapan pekan, Aku membuat lingkaran demi lingkaran. Membulati
setiap hari yang dilewatkan tanpa adanya penyelesaian. Hingga sekarang, angka
23 itu yang mendapat giliran. Aku tergugu, gelisah sempurna menyerangku. Mengapa?
Mengapa ‘kewajiban’ itu tak jua terlunaskan? Bukankah jiwa seseorang kan
tertahan hingga ‘urusan’ itu terbayarkan? Dan bukankah Nabi saja tak mau menyolatkan
jenazah yang perihal ‘kemestiannya’ masihlah gamang? Lalu mengapa setelah sekian
masa berjalan, ‘perkara’ itu belum juga diselesaikan? Tanyaku, entah pada
siapa.
“Abi..!!”
panggil seorang anak kecil berponi, mengagetkanku. Rambut depannya memang sudah
terjulur hingga menutupi sebagian matanya. Buah dari penolakannya pada tempat
pangkas rambut di pinggir jalan sana. Menjadikan Aku sendiri yang harus
berkreasi mengguntingi, membentuk potongan gaya rambut anak ini menjadi model
poni, satu-satunya potongan yang kukuasai. Tinggal ditutupi dengan rantang,
lalu digunting sekelilingnya. Selesai, begitu mudahnya.
“Ada
apa Zahdan?” tanyaku, sembari mengusap lembut rambutnya yang lurus. Zahdan tak
lantas menjawab, Ia malah terkekeh memberi isyarat. Jemarinya menarik tangan
kananku, lalu mendekatkan mulutnya kearah telingaku. Ia berbisik pelan, “He..
Abi, mm.. Jadan.. emm.. Jadan mau.. Jadan mau jajan.. Boleh ya Abi?” ucapnya,
dengan nada yang manja. Aku menoleh sembari terkejut. “Haa?? Bukannya tadi
Zahdan udah jajan Chiki?” tanyaku. Zahdan tak lantas merasa bersalah, Ia malah
mengangguk dengan penuh semangat. Lalu dengan setengah berbisik, Ia berkata
lagi, “Iya Abi.. sekalang Jadan mau jajan coklat, yang ada hadiah Boboboynya.
Hadiahnya kelén (maksudnya keren) lho Abi..!” bujuk Zahdan, dengan raut wajah
yang terlihat penuh harap, serta dua mata bulat yang menatapku lekat-lekat,
sama lekatnya dengan saat Aku menatap kalender di rak penyekat.
Aku
menghela nafas, angka-angka di otak kiriku kembali berkongsi-kongsi. Hitungannya
kali ini dengan menyertakan faktor lembaran dana yang kupunyai. Segera, dompet kukeluarkan
dan kubuka, memastikan siapa sajakah gerangan yang masih bertengger didalam sana.
Tetap setia dan melulu ada, hingga maut memisahkan Kita. (Duh..)
TARAA…!!
Didalamnya Kulihat, satu lembaran kusam berwarna coklat. Barisan bilangan nol
berjumlah tiga, terpampang sempurna dibelakang angka limanya. Yang meski kubacakan
mantra berulang kali, digit nol itu tak pernah bertambah barang sebiji. Satu
lembar kusam berwarna coklat, menatapku sedemikian hangat. Satu? Ya, hanya
satu. Ia ternyata satu-satunya yang teramat taat. Mendampingi dengan tabah,
meski Aku tengah dilanda susah. Padahal, lembaran yang lain telah pergi entah
kemana.
Si
Hijau yang dulu memukau, meracau galau gara-gara motorku mendadak tak mau
menyala. Ia kemudian angkat kaki, hanya sekejap setelah bensin motorku kembali
diisi. Si Biru yang begitu lugu, terbujuk rayu seorang kasir di minimarket itu.
Ia berganti posisi dengan detergen plus pewangi, yang katanya bisa juga mencuci
sendiri. Sedang Si Merah yang bertuah, terlalu cepat beranjak enyah, hanya
sesaat setelah alarm meteran listrik berteriak-teriak marah. Ia mau saja
ditukar dengan deretan panjang angka, yang bahkan huruf R dan P didepannya saja
tak ada.
Alhasil,
lembaran coklat adalah satu-satunya yang tersisa. Membuatku semakin ragu untuk
mengeluarkannya. Ia adalah yang paling setia diantara semua lembaran yang
pernah ada. Ia adalah yang paling lama bertahan, saat yang lain sudah menghilang
berlarian. Aku tak tega memutuskannya, Aku tak sampai hati menceraikannya. Luka
yang Kutorehkan pasti akan membekas abadi, duka yang Kutancapkan pasti akan
menyakitkan sekali. Duhai.. Apakah jodoh ini memang hanya sampai disini? Benarkah
kebersamaan ini memang hanya berujung disini? Tidakkah ikatan ini harus melulu
dierati, meski apapun jua yang terjadi? Tidakkah Kita harus saling menguatkan,
apalagi saat badai datang melemahkan? (Lagi-lagi, Duh..)
“ABII..!!
MANA??” anak kecil berponi mengagetkanku untuk yang kedua kali. Rambut depannya
masih jua terjulur hingga menutupi sebagian matanya. Aku kembali menoleh ke
arahnya, pura-pura tak mengerti maksud dan tujuannya. “Ada apa Zahdan?”
tanyaku, polos. Yang ditanya langsung merajuk, “Iiiih.. Abi mah! Jadan kan mau
jajan coklat, yang ada hadiahnya téa. Abi kasih Jadan uangnya atuh..” ucap
Zahdan, kali ini dengan menyodorkan telapak tangan yang terbuka, menuntut
pengamalan secara real dan nyata,
bukan hanya janji-janji politik semata. Sontak Aku langsung menggulung spanduk-spanduk
kampanye, menggulung lengan baju hingga ke siku, menggulung ujung celana hingga
ke lutut, dan menggulung tikar yang baru digelar.. Namun berhubung belum ada
Razia, tikarnya kembali kugelar saja. (He..)
Sembari
menatap Zahdan, Aku aktif melancarkan upaya preventif, dengan cara yang teramat
persuasif.
“Mm..
Zahdan, bukannya coklat di warung itu udah abis?” tanyaku.
“Masih
ada kok” jawabnya.
“Bukannya
warungnya udah tutup?” tanyaku.
“Masih
buka kok” jawabnya.
“Yang
jagain warungnya lagi pergi ya?” tanyaku.
“Ngga,
ada disana kok!” jawabnya.
“Em..
Zahdan, makan nasi dulu aja gih. Biar kenyang” kataku.
“Udah”
jawab Zahdan.
“Minum
Susu?” tanyaku.
“Udah
juga” jawabnya.
“Berarti
ga usah jajan” simpulku.
“Mau
jajan!” simpulnya.
“Kan
udah kenyang” kataku.
“Kan
biar tambah kenyang” katanya.
“Makan
nasi lagi aja” tawarku.
“Ga
mau!” tolaknya.
“Minum
susu?” tawarku lagi.
“Ga
mau!” tolaknya lagi.
“Mau
apa atuh?” tanyaku.
“Mau
jajan!” jawabnya.
“Ergh..
Ya udah, Abi kasih uangnya. Tapi coklatnya satu aja ya?” tawarku.
“Em..
dua aja Abi!” jawabnya.
“Satu!”
tegasku.
“DUA!!”
tegasnya.
“SATUUU!!!”
kataku, keras.
“DUAAAAAA!!”
katanya, lebih keras.
Akhirnya,
perdebatan Kami selesai, hanya sepersekian detik setelah lembaran coklat berpindah
antar. Dompetku langsung kehilangan, teramat kehilangan bahkan. Cukup lama
mulutnya terus terbuka, menganga.. setengah tak percaya isi perutnya dikuras
hingga tiada sisa. Sedangkan Aku? Hanya bisa tergugu menahan pilu. Terbayang
lembaran coklat kan bertukar tempat dengan lembaran abu. Dilengkapi tiga digit
nol yang jumlahnya sama-sama enggan bertambah meski sebuah. Barisan bundarnya
selalu rapi tertata, dibelakang angka yang kata orang mirip sekali angsa. Namun
Angsa yang tanpa sepasang sayap, dan tanpa sepasang kaki. Tanpa adanya buntut,
dan tanpa kejelasan patuk. Heran, dengan banyaknya ‘tanpa‘ tersebut, mengapa
orang masih berkata angka itu mirip angsa?
Aku
menatap anak kecil berponi berlari girang ke warung seberang. Tangannya tinggi
mengibar-ngibarkan lembaran coklat, yang untuk berpamitan saja tak diberi
sempat. Ia sudah menghilang.. dibawa jajan Zahdan. Ditukar dengan dua bungkus
coklat yang memikat. Tidak, yang memikat Zahdan pastilah hadiah Boboiboynya,
bukan coklatnya. Hmph.. hidup memang terkadang begitu kejam Kawan.
Belum
usai Aku mengenang masa-masa kebersamaan bersama lembaran coklat, Zahdan kecil
sudah datang membawa keresek berisi jajanan. Wajahnya sumringah bukan kepalang,
berteriak-teriak dengan suara semarak. “Abii!! Lihaat!! Kata Ibu walung kalo
belinya lima libu, dapet coklat sama Boboboynya lima. Lihat Abi!! Jadan dapet
hadiahnya limaa!! Banyaak.. kelén-kelén Boboboynyaa!!” celotehnya, Ia tak
tersentuh sedikitpun dengan arti lembaran coklat beserta kesetiaannya. Aku menggeleng-gelengkan
kepala, tak percaya dengan yang kulihat didepan mata. Tak ada lagi angka yang
berkongsi-kongsi didalam kepala, tak ada lagi bilangan-bilangan yang dihitung
campuran. Semuanya hilang bersamaan dengan teriakan Zahdan. “Abii.. Boboboynya masuk
comberaan!!”
***
Tak
ada asap, jika tak ada api. Tak ada fakta, jika tak ada bukti. Dan tak ada
uang, jika belum dapat gaji. Artinya, bukan tanpa alasan, selembar lima ribu
bisa menjadi teramat berarti bagiku. Bukan tanpa sebab, selembar berwarna coklat
itu satu-satunya yang tersisa didompetku. Semua hal tersebut berasal dari
sesuatu menyeramkan yang bernama, “Utang”.
Sebut
saja Mr X, seorang pengusaha kawakan. Jam terbangnya dalam hal jual beli
sudahlah tinggi. Teknik promosi, marketing
strategy, termasuk hitung-hitungan laba dan rugi, sudah menjadi santapannya
sehari-hari. Di waktu Aku berangkat kerja di pagi buta, Mr X masih meminum
secangkir kopi dengan santainya. Di siang hari Aku beristirahat dengan kepala penat,
Mr X tengah semarak, dengan pembeli Ia bercakap. Dan dikala Aku berlelah-lelah
di saat petang, Mr X sudah sumringah menghitung keuntungan harian. 24 jumlah
jam yang sama, namun apa yang Kami lalui dan hasilkan sungguhlah berbeda.
Aku
sudah lumayan lama kenal dengan Mr X, karena selain masih terkait hubungan
saudara, cukup sering Aku dimintai tolong olehnya. Mulai dari sekedar servis
komputer, pesan-beli laptop, adu tawar rumah yang akan Ia beli, membuat desain
rumah yang akan Ia bangun, membuat layout toko yang hendak Ia renovasi, membuat
desain logo, membuat banner dan spanduk, serta masih banyak lagi. Yang kesemuanya
tak pernah Kujadikan bisnis, murni saja memberi pertolongan. Mau diganti
silahkan, tak digantipun tak mengapa. Semua disebabkan karena Kami ada
keterkaitan saudara.
Sebaliknya,
Mr X pun sudah banyak sekali berbuat baik. Tak jarang, Ia bantu mengantar Ziya
(kakaknya Zahdan) pergi ke sekolah. Terutama bila Aku belum pulang dari tempat
kerja. Terkadang pula Ia dititipi Zahdan sebentar, memberi nasihat yang
terujar, serta kebaikan-kebaikan lain yang tak bisa Kujabar. Sayang, dari
sekian banyak kelebihan yang ada padanya, hanya satu hal yang membuat Mr X kerap
tercoreng namanya. Ia acapkali abai pada utangnya. Itu saja.
“Mana
radio komunikasi yang Kupesan kemarin?” tanyanya, suatu kali. Aku menggeleng
pelan, bingung hendak memberi jawaban yang tepat. Bukan apa-apa, Mr X suka meminta
dibelikan barang, namun seringkali tanpa uang yang dibekalkan. Alasannya selalu
klasik, ‘nanti diganti’. Padahal, kata ‘nanti’ itu bisa beminggu-minggu
lamanya, bisa berbulan-bulan lamanya. Dan kata ‘nanti’ tersebut, memberi
konsekuensi serius pada siklus keuanganku. Aku harus menggunakan simpanan
pribadi terlebih dahulu, jika ada. Jika tidak, terpaksa menggilirnya dengan
stok dana dari pos keuangan yang lain. Pos untuk bayar sekolahan, atau pos
untuk kebutuhan dapur dan makan.
“Mm..
belum, belum sempat dipesankan” jawabku, setengah ragu. Berharap Mr X langsung
mengerti dan memberi uang terlebih dahulu. Aku memang bukan tipikal orang yang
berani berterus terang, terutama masalah uang. Aku selalu didera ambigu,
membicarakan uang bagiku rasanya seperti sesuatu yang tabu. Mendengar jawabanku
yang terbata, Mr X hanya mengangguk dan berkata, “Cepat pesankan ya! Nanti
uangnya diganti” ucapnya.
Aku
menghela nafas pasrah. Lagi-lagi kata ‘nanti’ itu muncul lagi. Padahal, bekas
pembuatan spanduk minggu kemarin saja belum diganti, katanya nanti. Pembelian keyboard
laptop bulan lalu saja masih belum dilunasi, katanya nanti. Belum lagi dengan
pembelian PC bekas untuk tokonya, perbaikannya, programnya, berikut scanner barcodenya. ‘Nanti’ yang lama
belum selesai, kini sudah ada ‘nanti’ yang baru. Tak tahu, ‘nanti’nya itu
membuatku harus pontang panting mengatur isi saku. Tak sadar, ‘nanti’nya itu
membuatku harus menahan lapar sampai terkapar. Entahlah, mungkin saja bagi Mr X
besar nominal rupiah itu tak seberapa. Terlalu kecil dibandingkan perputaran
uang di usaha yang tengah dikelolanya. Namun bagiku, nominal itu bisa menambal
kebutuhan berminggu-minggu. Sayangnya Ia tak tahu, sekalipun tak pernah tahu.
Ingin
sekali Aku lugas berkata padanya, “Mr, bayar dulu utangmu! Baru Kubelikan lagi
pesanan-pesananmu!”. Atau sekedar jujur dalam bertutur, “Mr, Aku sedang tak
punya uang, pesananmu tak bisa kubelikan!”. Namun Aku tak bisa. Aku benar-benar
tak bisa berkata sedemikian lugasnya, Aku sungguh-sungguh tak mampu bertutur
sebegitu jujurnya. Aku selalu teringat akan kebaikan-kebaikan yang sudah Ia
lakukan, dan Akupun menjaga adab berucap pada Ia yang Kuberi hormat.
Kawan,
Aku ini seorang perantau. Ayahku sudah meninggal dunia, sedang Ibuku tinggal jauh
di kampung halaman sana. Di kota ini Mr X sudah kuanggap seperti orang tua
sendiri. Anak-anaknya sudah Kuanggap seperti adik-adikku sendiri. Tak terhitung
berapa kali, jika di rumahnya nasi belumlah matang, Anak-anaknya datang
menumpang makan. Pun sebaliknya, saat Ziya atau Zahdan kecil bermain disana,
mereka kerap disuapi makanan pula. Selayaknya keluarga seharusnya, Kami saling
menolong satu dan lainnya. Seyogyanya keluarga semestinya, Kami saling membela
dari rongrongan yang menerpa. Maka sungguh sangat disayangkan, jika sekarang ini
hubungan baik tersebut berubah menjadi renggang, membelah kekerabatan, dan
menarik garis jarak yang terbentang panjang. Semua hanya gara-gara urusan utang
yang melulu terabaikan.
***
Angka
28 yang terpampang, sempurna sudah Kutandai bulatan. Setelah sebegitu banyak
bulatan-bulatan yang Kutorehkan, berderet berdesakan di sebuah lembar kalender yang
terpajang. Pekan ke sembilan? Entahlah, untuk menghitungnya ulang Aku terlalu
enggan. Dan untuk terus menandai tanggal seperti inipun, Aku makin didera
kemalasan. Bukan apa-apa, rasanya percuma saja setiap tanggal kutandai. Urusan
itu tetap saja tak tertanggulangi. Alih-alih menjadi solusi, fikiran ini malah
makin terbebani. Teringat tanggal terus-terusan, menanggung derita
berkesinambungan.
Lagi-lagi,
Aku bertanya dalam hati. Mengapa? Mengapa utang itu tak jua terlunaskan?
Bukankah jiwa seseorang kan tertahan hingga utangnya terbayarkan? Dan bukankah
Nabi saja tak mau menyolatkan jenazah yang perihal utangnya masihlah gamang?
Lalu mengapa setelah sekian masa berjalan, utang itu belum juga diselesaikan?
Tanyaku, dengan gelisah yang menyerang. Berpadu dengan gejolak lapar yang
menyerbu perutku. Tidak, gajian masih beberapa hari ke depan, sebisa mungkin
Aku harus bertahan. Mengupayakan anak-anak di rumah mendapat kenyang, agar tak
ada dari mereka yang memelas jajan. Dompetku? Tak tahu bagaimana keadaannya
sekarang. Keberadaannya kini jarang sekali dipertanyakan. Mungkin saja Ia sudah
mati, sakit hati lantaran tak pernah diisi. Atau barangkali sekedar koma, saat seekor
laba-laba sudah bersarang didalamnya.
PRAANG!!
Suara benda pecah membuatku terkejut. Sontak Aku melompat, bersegera menuju ke
sumber suara. Dan tampaklah di dapur, pecahan kecil piring berantakan di
lantai. Ziya Sang anak pertama, tengah berdiri di dekatnya, wajahnya menatap kearahku
dengan takutnya. Kedua matanya berkaca, hanya butuh sedikit bentakan saja bisa
dipastikan pecahlah tangisnya. Sepertinya Ziya hendak memasak mie goreng,
makanan favoritnya. Selama ini Ziya memasaknya lancar-lancar saja. Ia sudah
terbiasa melakukannya tanpa bantuan. Namun entah kenapa kali ini piringnya
tersenggol dan pecah beradu lantai.
“Ziya,
ga apa-apa kan? Kakinya ada yang sakit ngga?” tanyaku. Ziya hanya menggeleng,
masih dengan wajah yang mengerut takut. Aku berkata lagi, “Kalo gitu Ziya naik
ke atas kursi disana, Abi beresin dulu pecahan piringnya” ucapku. Ziya menurut,
naik ke kursi dengan hati-hati.
Singkat
cerita, pecahan di lantai sudah Kubersihkan. Mie goreng Ziya sudah Kubuatkan.
Aku lalu memberikannya pada Ziya yang masih juga terdiam. “Ini, Ziya makan
dulu. Sambil kakinya Abi lihat ya, khawatir tadi kena pecahan” kataku. Ziya
hanya mengangguk. Aku berlutut, mengamati telapak kaki Ziya dari dekat.
“Mm..
Abi” panggil Ziya, pelan. Aku mengangkat wajah, “Iya, kenapa?” tanyaku. Ziya
belum sedikitpun menyentuh mie goreng di hadapannya, Ia malah memperhatikanku.
“Kenapa sih, tadi Abi ga marah? Tadi kan, Ziya udah mecahin piring..” katanya.
Aku lalu tersenyum, “Ziya, itu kan hanya piring.. HANYA piring.. Benda yang ga
punya hati. Bisa dicari lagi, bisa dibeli lagi. Tapi kalo Abi marahin Ziya,
trus hati Ziya yang pecah, susah buat benerinnya lagi” jawabku. Ziya
mengangguk-angguk, entah mengerti entah tidak.
Aku
melanjutkan, “Lagipula, Ziya pasti ga sengaja mecahin piringnya kan? Lebih
mudah buat Abi mengikhlaskan saja. Ziya ga usah takut, itu HANYA..” ucapanku
terhenti. Sebuah kata yang terakhir tiba-tiba berbalik menyerang fikiranku.
Memberondong kongsi-kongsi angka di dalam benakku, bilangan-bilangan didalam
otakku, serta tanda lingkaran-lingkaran di kalender itu, semuanya bergumul, berkecamuk
menjadi satu.
Ziya
berkata, “Abi.. Ma kasih ya. Ini.. Mie gorengnya buat berdua aja. Abi juga
lapar kan?” tawar Ziya. Aku masih tergugu dengan kata-kataku sendiri, menatap mata
Ziya yang tak lagi berkaca, berganti binar yang bersinar dengan tulusnya. “Em..
Bu.. Buat Ziya aja dulu. Nanti kalo Ziya udah kenyang, Abi yang habiskan. Ma
kasih Ziya udah nawarin” jawabku. Ziya tersenyum lalu mengangguk.
Aku
berbalik, menuju kalender kembali. Kemudian sekuat tenaga merobek semua tanggal
yang sudah ditandai, menghilangkannya dari pandangan, melenyapkannya dari
ingatan. Lirih Aku berkata, “Itu hanya uang.. HANYALAH uang. Berapapun
jumlahnya, meski berpuluh atau beratus-ratus sekalipun, itu tak lebih dari
benda mati belaka. Tak bisa menjadi jaminan berikan kebahagiaan. Jadi, lebih
mudah bagiku untuk melepaskannya saja. Lebih enteng bagiku mengikhlaskannya saja.
Ya Allah, kenapa Aku bisa lupa hal yang sedari dulu selalu Kuyakini? Aku
terlalu dibuai dengan hitung-hitungan dunia. Padahal hitungan Allah lah yang lebih
baik dari segalanya. Tak apa.. Jikapun tak dilunaskan, Insya Allah Aku
sedekahkan. Biar menjadi amal kebaikanku di hari penghisaban. Bismillaah.. Aku
sedekahkan semuanya Yaa Allah!! Aku Ikhlaskan semuanya Yaa Robb!!” lirihku, mantap.
Tanganku meremas sobekan kalender, melemparkannya ke tempat sampah, kemudian
tersenyum tenang. Jauh lebih tenang ketimbang perasaanku selama berpekan-pekan.
“Abii… Ini Ziya
sisain buat Abi!” teriak Ziya. Aku langsung menyahut, “Oya? Asyiik, pasti lezat
sekali. Ma kasih Ziya ya!” balasku, begitu semangat. Ziya mengangguk sembari
tersenyum. Namun, mendadak terdengar suara “Jadan mauuu!!!” teriak seorang anak
berponi, tiba-tiba muncul begitu saja dibelakangku, Ia baru bangun dari tidur
siangnya. Aku sontak melompat, membawa kabur piring berisi mie goreng tersebut,
pura-pura hendak bersembunyi. Zahdan mengejarku sambil merajuk dan tertawa.
“Abiii…!! Jadan Mauu..!!” teriaknya. Ziya menepuk jidatnya, “Zahdaaan, itu mah
punya Abi. Buat Zahdan biar Kakak bikinin aja!” kata Ziya, begitu bijaknya.
Namun Zahdan tak peduli, Ia memilih mengejar-ngejarku hingga tertangkap. Lalu terburu-buru
menghabiskan sisa mie yang ada. Ziya menggeleng-gelengkan kepala, sedangkan Aku
tertawa melihatnya. Senang rasanya tak lagi dihantui angka-angka. Lebih senang
lagi bisa merasakan kembali kebahagiaan di sekitar. Hilang sudah beban yang
mengungkung hati, musnah sudah penat yang mendera fikiran. Ternyata yang perlu
Kulakukan hanyalah, BERDAMAI DENGAN MASALAH, itu saja.