08/12/2013

Berapa Harga Tuhanmu?



Sebut saja Fulan. Usianya 40 tahun sudah terbilang. Berpuluh tahun lamanya ia menjadi supir angkutan. Jika ia ditanya keyakinan, sudah tentu muslim ia katakan. Namun disaat tiba waktu jum’atan, di balik kemudi ia bertahan. Lalu tancap gas dan berseliweran di jalanan. Dengan dalih kejar setoran, dengan alasan penghasilan yang pas-pasan. Satu jam sudah, pun demikian dengan jum’atan. Fulan menghentikan mobilnya di pelataran, menanti penumpang yang tengah menyeberang. Sesaat Fulan terdiam, menghitung uang dalam genggaman. 10, 20, 30… tiga puluh ribu ia dapatkan, selama waktu jum’atan yang ia lewatkan. Tiga puluh ribu ia dapatkan, dengan melanggar kewajiban yang telah diperintahkan. Hmph… Wahai Fulan, hanya 30.000.. Itukah harga Tuhan bagimu?

Katakan saja Siti, seorang ibu tua bersuamikan petani. Pergi ke sawah sehari-hari. Membabat rumput dan hama pengganggu padi. Sayang seribu sayang, hasil panen tidaklah terlalu tinggi. Ditambah dengan harga padi yang mendadak rendah sekali. Kalah dengan padi impor, begitu kata para petinggi. Bertambahlah kesedihan seorang Siti. Tiba-tiba, seorang dermawan datang menghampiri. Sungguh tepat waktu seperti mengerti situasi. Menawarkan bantuan per jiwa berupa 3 bungkus mie. Dengan syarat tinggalkan Islam sebagai agama yang semula diyakini. Tak perlu shalat dan puasa lagi, apalagi pergi haji yang sudah tentu ongkosnya mahal sekali. Tanpa berfikir dua kali, Siti mengangguk pasti. Menerima 3 bungkus mie, dengan mengucap terima kasih yang bertubi-tubi. Hmph.. Wahai Siti, apakah Tuhan bagimu hanya seharga 3 bungkus mie?

Di dunia ini ada banyak Fulan-fulan lainnya. Di bumi ini ada lagi Siti-siti lainnya. Menukarkan Tuhan mereka, menukarkan iman mereka, menukarkan agama mereka, hanya dengan harga yang tak seberapa. Mereka menukarnya dengan harga jutaan, jabatan yang menawan, sampai pasangan yang berkelebihan.

Berbeda kasusnya, ketika mereka diminta menukarkan jantung mereka, otak mereka, atau “hanya” dua ginjal mereka, dengan harga lebih dari ratusan juta. Mereka dengan spontan menolaknya, berapa tinggipun harga sebagai imbalannya. Karena mereka berfikir dengan penuh kesadaran, bahwa tanpa organ-organ itu kematianlah yang akan datang. Aneh memang.. Padahal bukankah yang menciptakan organ tersebut sejatinya adalah Tuhan? Apakah tidak lantas berfikir ketika mereka menukarkan Tuhan, maka kematian tetap datang? Bahkan datang dengan cara yang lebih menyeramkan? Ironis memang, lebih memilih rupiah ketimbang taat pada perintah. 

Jadi, mari mengadu pada kalbu.. Berapakah harga Tuhan bagimu?     

No comments:

Post a Comment