Sebut saja Fulan. Usianya 40 tahun sudah terbilang. Berpuluh
tahun lamanya ia menjadi supir angkutan. Jika ia ditanya keyakinan, sudah tentu
muslim ia katakan. Namun disaat tiba waktu jum’atan, di balik kemudi ia
bertahan. Lalu tancap gas dan berseliweran di jalanan. Dengan dalih kejar
setoran, dengan alasan penghasilan yang pas-pasan. Satu jam sudah, pun demikian
dengan jum’atan. Fulan menghentikan mobilnya di pelataran, menanti penumpang
yang tengah menyeberang. Sesaat Fulan terdiam, menghitung uang dalam genggaman.
10, 20, 30… tiga puluh ribu ia dapatkan, selama waktu jum’atan yang ia
lewatkan. Tiga puluh ribu ia dapatkan, dengan melanggar kewajiban yang telah
diperintahkan. Hmph… Wahai Fulan, hanya 30.000.. Itukah harga Tuhan bagimu?
Katakan saja Siti, seorang ibu tua bersuamikan petani. Pergi
ke sawah sehari-hari. Membabat rumput dan hama pengganggu padi. Sayang seribu
sayang, hasil panen tidaklah terlalu tinggi. Ditambah dengan harga padi yang
mendadak rendah sekali. Kalah dengan padi impor, begitu kata para petinggi.
Bertambahlah kesedihan seorang Siti. Tiba-tiba, seorang dermawan datang menghampiri.
Sungguh tepat waktu seperti mengerti situasi. Menawarkan bantuan per jiwa
berupa 3 bungkus mie. Dengan syarat tinggalkan Islam sebagai agama yang semula
diyakini. Tak perlu shalat dan puasa lagi, apalagi pergi haji yang sudah tentu
ongkosnya mahal sekali. Tanpa berfikir dua kali, Siti mengangguk pasti.
Menerima 3 bungkus mie, dengan mengucap terima kasih yang bertubi-tubi. Hmph..
Wahai Siti, apakah Tuhan bagimu hanya seharga 3 bungkus mie?
Di dunia ini ada banyak Fulan-fulan lainnya. Di bumi ini ada
lagi Siti-siti lainnya. Menukarkan Tuhan mereka, menukarkan iman mereka,
menukarkan agama mereka, hanya dengan harga yang tak seberapa. Mereka
menukarnya dengan harga jutaan, jabatan yang menawan, sampai pasangan yang
berkelebihan.
Berbeda kasusnya, ketika mereka diminta menukarkan jantung
mereka, otak mereka, atau “hanya” dua ginjal mereka, dengan harga lebih dari ratusan
juta. Mereka dengan spontan menolaknya, berapa tinggipun harga sebagai
imbalannya. Karena mereka berfikir dengan penuh kesadaran, bahwa tanpa organ-organ
itu kematianlah yang akan datang. Aneh memang.. Padahal bukankah yang
menciptakan organ tersebut sejatinya adalah Tuhan? Apakah tidak lantas berfikir
ketika mereka menukarkan Tuhan, maka kematian tetap datang? Bahkan datang dengan
cara yang lebih menyeramkan? Ironis memang, lebih memilih rupiah ketimbang taat
pada perintah.
Jadi, mari mengadu pada kalbu.. Berapakah harga Tuhan
bagimu?
No comments:
Post a Comment