12/01/2022

Perspektif

Sore itu, dalam sebuah perjalanan pulang, semua kendaraan harus melambat akibat kemacetan. Lajur satu, lajur dua, tak ada yang bisa bergerak leluasa. Kesemuanya terpaksa tertahan, entah apa penyebabnya.
 
Aku hanya bisa menghela napas berat, badanku sudah terasa begitu penat. Hati ini ingin bisa lekas-lekas sampai di rumah, meluruskan kaki, melepas lelah. Perjalanan antar kota ini memang lumayan menguras tenaga.
 
Pun Zahdan, kendati tadi sempat tertidur sebentar, raut anak itu masih terlihat penat. Mungkin merasa bosan, ingin lekas-lekas berlari bersama kawan tetangga, atau bermain gasing dan bola seperti biasanya.
Karena tak banyak yang bisa dilakukan, Zahdan memilih menyandarkan kepalanya ke jendela, melihat barisan kendaraan yang bermandikan hujan diluar sana.
 
Tiba-tiba dari arah belakang, sebuah kendaraan mewah menyalakan klakson yang begitu nyaring. Meneriaki yang di depan agar bersegera maju, atau minggir memberi jalan. Yang diteriaki, tentu saja kebingungan. Kendaraannya bergerak saja tak bisa, terhalang oleh kendaraan yang di depan, terhalang depannya lagi, depannya lagi, depannya lagi, dan depan depannya lagi.
 
Aneh, memang. Selain urusan mendesak seperti ambulan, atau mobil pemadam, seharusnya semua bisa bersabar mengikuti aturan. Bukannya bersikap arogan, memaksa ingin diistimewakan.
 
Karena tak merasa diberi jalan, mesin mobil mewah menderu-deru, sambil terus saja membunyikan klakson. Membuat bising sekitar.
 
Aku melirik memperhatikan, kaca jendelanya yang sempurna berwarna hitam. Platnya pun berbeda dari mobil kebanyakan. Sepertinya, pemilik mobil adalah orang kaya dan berkedudukan.
 
Ah, percuma! Kaya tak akan lantas membuat jalanan ini seketika lancar. Kedudukan pun sama, tanpa pemahaman yang benar, kedudukan malah akan membuat pemiliknya menjadi angkuh dan arogan.
 
“Hmft.. lihat Zahdan. Kendaraan semewah apapun, tetap gak bisa maju kalau lagi macet mah!” celetukku.
 
Zahdan menoleh padaku, kemudian menatap keluar lagi dengan alis mengernyit, seperti tengah memikirkan sesuatu. Lalu beberapa detik kemudian, Zahdan menuturkan kalimatnya.
 
“Abi, aku jadi inget sama komik yang ditempelin di mading mesjid tea!” katanya.
 
“Oh, ya? Yang mana?” tanyaku.
 
“Itu, yang orang marah-marah, nyuruh orang didepannya minggir. Kata orang itu, kamu menghalangi jalanku, apa kamu tidak tahu siapa aku? Terus sama orang itu dijawab, dari persekip.. eh, persekpit.. per..”
 
“Perspektif” kataku.
 
“Iya, persetip..” jawab Zahdan.
 
“Perspektif” aku mengoreksi lagi, menahan tawa.
 
“Iya itu, pespektif.. Katanya, dari pes..pektif pohon, kamu tidak lebih besar dari rantingnya” jawab Zahdan.
 
“Maksudnya, tidak lebih tinggi” koreksiku.
 
“Iya. Tidak lebih tinggi. Terus, dari per..pektif gunung, kamu tidak lebih besar dari batu kerikil” lanjutnya.
 
Aku membenarkan.
 
“Terus, dari pespektif bumi, kamu tidak lebih besar dari.. em.. dari..” Zahdan terhenti untuk berpikir.
 
“Dari debu” ucapku.
 
“Iya, dari debu. Terus, dari pespektip alam semesta, kamu tidak lebih besar dari atom. Dan terahir, kalau dilihat di sisi Allah, kita ini bukan siapa-siapa..!” papar Zahdan.
 
Aku tersenyum, kembali mengangguk dan membenarkan. Dalam hati membisikkan kalimah Hamdallah, bersyukur Zahdan ternyata berhasil mengingat semuanya. 
 
Semoga pemahaman itu tertanam kuat dalam pikirannya, lebih tertanam lagi pada akhlak kesehariannya. Terus tertanam, hingga kelak tumbuh dewasa dan bijak menggenggam dunia.
 
 

No comments:

Post a Comment