07/09/2019

Zahdan Bisa Baca

Di suatu malam yang kian temaram..

“Jadi, Kau dengar apa kataku tadi? Aku akan mengizinkanmu, dengan syarat Kau membawakanku tiga benda legenda. Satu, Mutiara Hitam dari Laut Selatan. Dua, Tanduk Rusa Emas dari hutan pedalaman. Dan Tiga, Dahan Gelap Aquilaria dari Tubir Asfar, kata Raja” Aku menarik nafas sebentar, kemudian melanjutkan membaca draft tulisan pada layar.

“Ikal menelan ludah merasa gentar, dua matanya menatap Sang Raja dengan setengah kesal. Bagaimana mungkin Ia bisa mendapat benda-benda legenda itu? Nama-namanya saja baru kali ini Ia mendengarnya. Atau mungkin Raja Awandra hanya berkata sembarang, sebuah langkah jitu untuk mematahkan harapan” kataku, kemudian menghela nafas panjang.

“Nah, udah dulu ya ceritanya..” pungkasku, sembari menutup program Microsoft Word, lalu bersiap mematikan Laptop.

“Yaah… Terusin dulu atuh Abii!!” kata Zahdan, merajuk.

“Iya Abi, terusin dulu.. Ziya juga da belum tidur!” Ziya mendukung adiknya.

Aku tentu saja harus menggeleng, jam tidur anak-anak ini sudah terlewat setengah jam. Lagipula, ada alasan lain yang membuatku tak bisa meneruskan membaca cerita.

“Aduuh, ceritanya belum selesai, Zahdan. Abi baru ngetik sampai bab sembilan yang ini, masih mikir-mikir gimana kelanjutan ceritanya. Nanti deh, kalau sudah ada, Abi bacain lagi. Ya?” kataku.
Ziya dan Zahdan mengucap ‘Yaah’ hampir bersamaan. Ziya yang sudah lebih dewasa, mengangguk tanda mengerti, membaca do’a sebelum tidur, lalu langsung merapatkan selimut. Tidur miring ke sisi kanan.

Sedangkan Zahdan, entah karena masih penasaran, tergelitik untuk kembali bertanya.

“Abi, Raja Awandra itu teh jahat ya? Terus nanti Ikalnya gimana?” tanyanya, tak peduli padaku yang sudah mengucek mata menahan kantuk.

“Iya Zahdaaan.. Nanti aja Zahdan denger lagi ceritanya. Udah ah, sekarang mah Zahdannya tidur dulu. Besok-besok kalau Zahdan udah bisa baca, pasti bakal seru. Kayak Ka Ziya tuh, sering asyik sendiri baca buku KKPK. Nah, Zahdan juga, nanti pilih buku cerita mana saja yang ada di rak, terus langsung dibaca sendiri, ga usah nunggu Abi buat bacain. Cerita tentang astronot, tentang planet, semua kan ada” ucapku.

Zahdan tersenyum, melafalkan do’a sebelum tidur, lalu ikut memejamkan mata sembari merapatkan selimut, entah apa yang akan dimimpikannya.


Benar, hingga Zahdan menginjak usia keenamnya, Aku memang tak pernah khusus mengajarinya membaca. Aku hanya menyodorinya buku-buku, menawarinya membeli buku, serta menyediakan wadah khusus untuk buku-buku miliknya. Wadah yang berbeda dengan tempat menyimpan mainan-mainannya.

Dulu, Zahdan kecil sering terduduk di pangkuan, lalu kubacakan teks cerita sembari menunjuk gambar-gambar yang tertera. Ia akan berceloteh ‘bah..bah..’ tanpa kumengerti apa maksudnya.
Termasuk kartu baca balita. Rasa-rasanya Aku tak pernah sekalipun mengkhususkan waktu bagi Zahdan belajar tentangnya. Mengeja suku kata, atau bernyanyi ‘ba-bi-bu-be-bo’, semua dijalani Zahdan apa adanya.

Adakalanya, Zahdan berkata sok tahu, kala Ia melihat sebuah spanduk mencolok yang dipasang di depan sebuah rumah.

“Abi, rumah yang itu teh pasti dijual ya!” tebaknya, begitu yakin. Mungkin karena dulu Aku pernah memberitahunya saat Ia bertanya hal yang sama tentang rumah yang berbeda.

“Mana? Ooh.. yang itu. Bukan Nak, rumah yang itu mah bukan dijual, tapi dikontrakan” jawabku, sembari terkekeh.

Zahdan mengernyit tak mengerti. Padahal spanduknya sama persis, warna dan ukuran hurufnya pun mirip, kenapa bisa berbeda.

Dan percakapan selanjutnya membahas tentang apa itu ‘dikontrakan’. Aku sebisa mungkin memilih kata-kata yang bisa dimengerti oleh anak seusianya.


Beberapa waktu kemudian, ketika Aku mengajaknya membeli jajanan, Zahdan tiba-tiba saja berkata sendiri..

“Par.. Kir.. Mo.. Tor.. Ma.. Sih.. Ko.. Song.., Abi!! Disana itu tempat parkir motor ya?” tanyanya, sembari mengarahkan wajahnya ke arah sebuah toko.

Sontak Aku terperanjat. Alih-alih menjawab, Aku malah bertanya balik.

“Ha? Zahdan udah bisa baca??” tanyaku, tak percaya.

Yang ditanya hanya terkekeh sambil mengangguk bangga.

“Coba.. coba.. baca yang ini..!” kataku, menunjukkan bagian depan kaos yang tengah kukenakan.

“Em.. Tehe.. Gre.. Aaa.. Tes.. Ta.. Uuu.. Hid..!” kata Zahdan.

Lagi, Aku harus menggelengkan kepala tak percaya. Anak kecil berponi ini ternyata sudah bisa membaca tanpa kuduga.

Boleh jadi, Zahdan sudah diajari gurunya di sekolah, meski Ia nyata-nyata tak pernah membawa buku mengeja ke rumah.

Jumlah durasi sekolahnya pun sangat-sangat terbatas, tak lebih dari empat jam waktunya. Ditambah dengan tingkat ketidakhadiran Zahdan yang tinggi, serta diinterupsi dengan periode bermain Zahdan yang unlimited, ternyata eh ternyata.. Zahdan bisa cepat juga belajar membaca.

Kau memang hebat, Nak..

Lain waktu, Kau bisa membaca sendiri kelanjutan cerita Raja Awandra di laptop ini. He..

No comments:

Post a Comment