08/03/2016

Ziya dan Sosialisasinya

"tampaknya, ziya sekarang sudah siap bersosialisasi. Habitsnya bagus. Empatinya tambahin lagi, supaya bisa jadi contoh untuk anak2 yg lain" ucap seorang pakar, sembari menyerahkan kembali kertas gambar itu padaku. Aku mengangguk, mengucap hamdallah lirih. Di hati bergemuruh rasa senang yg sangat. Mataku menyapu kembali hasil goresan tangan ziya diatas kertas gambar tersebut. Terlihat seorang anak berada di bagian tengah kertas, tersenyum. Di kanan kirinya terdapat gambar anak2 lain, ramai berbaris. Di belakangnya ada rumah besar, berhiaskan bunga dan taman. Ada pula pohon berbuah lebat dengan ayunan tempat anak tersebut bermain. Terbayang, ziya tak lagi bersembunyi di belakangku karena ketakutan. Ziya yang berlarian bersama kawan2nya. Bercerita tanpa ragu tentang cerita2 dalam bindernya. Ziya yg tak lagi menangis, ziya yg mandiri, senang, banyak berkawan. Hmph.. Hanya saja...

Hari itu, seperti biasa aku mengantarkan ziya ke sekolah. Kali ini ia menolak diantar sampai kelas. Dengan wajah tak acuh, ziya berjalan gontai ke dalam kelasnya, aku menatap punggungnya yang berlalu, lalu lanjut memperhatikannya dari balik jendela. Ziya berjalan pelan ke kursinya, kali ini gilirannya duduk di deretan kursi bagian belakang kelas. Tak jadi soal, ziya tak terlalu terpengaruh perihal tempat duduk, sama saja. Yang jadi soal adalah, ziya duduk sendirian. Sementara teman2 nya yg lain ramai bererumun di beberapa titik. Tak ada satupun yg mendekat pada ziya. Dan ziyapun tak bergeming, diam menyendiri di tempat duduknya. Aku jd teringat dengan cerita ziyq tempo hari. Yaitu ketika jam pelajaran olahraga, sang guru memerintahkan anak2 untuk memilih satu temannya, berkelompok masing2 dua anak. Anehnya, tak ada satupun yang memilih ziya. Hingga ziyapun terpaksa berkelompok bersama sang guru olahraga.



Aku tertegun mendengar ceritanya. Taksedikitpun ada aroma sedih di raut wajahnya. Ziya malah menceritakannya dengan tawa terkekeh. Mungkin ia sudah 'terlalu terbiasa' diperlakukan demikian oleh teman2nya. Aku berpura2 tersenyum. Mengusap kepalanya lembut tanpa mampu berkata2. Ziya mungkin memang sudah siap bersosialisasi. Siap untuk berbagi dunia uniknya kepada orang lain. Akan tetapi, yg menjadi permasalahan apakah lingkungannya sudah siap menerima ziya.. Huft.. Ini tak semudah kelihatannya. Tiba2, ziya menoleh, melihatku yang berada di balik jendela. Ia lalu berjalan santai mendekatiku, dan memberi isyarat dengan raut wajahnya. "abi, pulang aja" ujarnya. Aku mengangguk mengerti, lalu dengan berat hati aku berbalik, melangkah pergi. "sabar ya nak.." ucapku lirih.

No comments:

Post a Comment