"tampaknya, ziya sekarang sudah siap bersosialisasi. Habitsnya bagus.
Empatinya tambahin lagi, supaya bisa jadi contoh untuk anak2 yg lain"
ucap seorang pakar, sembari menyerahkan kembali kertas gambar itu
padaku. Aku mengangguk, mengucap hamdallah lirih. Di hati bergemuruh
rasa senang yg sangat. Mataku menyapu kembali hasil goresan tangan ziya
diatas kertas gambar tersebut. Terlihat seorang anak berada di bagian
tengah kertas, tersenyum. Di kanan kirinya terdapat gambar anak2
lain, ramai berbaris. Di belakangnya ada rumah besar, berhiaskan bunga
dan taman. Ada pula pohon berbuah lebat dengan ayunan tempat anak
tersebut bermain. Terbayang, ziya tak lagi bersembunyi di belakangku
karena ketakutan. Ziya yang berlarian bersama kawan2nya. Bercerita tanpa
ragu tentang cerita2 dalam bindernya. Ziya yg tak lagi menangis, ziya
yg mandiri, senang, banyak berkawan. Hmph.. Hanya saja...
Hari itu, seperti biasa aku mengantarkan ziya ke sekolah. Kali ini ia
menolak diantar sampai kelas. Dengan wajah tak acuh, ziya berjalan
gontai ke dalam kelasnya, aku menatap punggungnya yang berlalu, lalu
lanjut memperhatikannya dari balik jendela. Ziya berjalan pelan ke
kursinya, kali ini gilirannya duduk di deretan kursi bagian belakang
kelas. Tak jadi soal, ziya tak terlalu terpengaruh perihal tempat duduk,
sama saja. Yang jadi soal adalah, ziya duduk sendirian. Sementara
teman2 nya yg lain ramai bererumun di beberapa titik. Tak ada satupun
yg mendekat pada ziya. Dan ziyapun tak bergeming, diam menyendiri di
tempat duduknya. Aku jd teringat dengan cerita ziyq tempo hari. Yaitu
ketika jam pelajaran olahraga, sang guru memerintahkan anak2 untuk
memilih satu temannya, berkelompok masing2 dua anak. Anehnya, tak ada
satupun yang memilih ziya. Hingga ziyapun terpaksa berkelompok bersama
sang guru olahraga.
Aku tertegun mendengar ceritanya. Taksedikitpun ada aroma sedih di raut
wajahnya. Ziya malah menceritakannya dengan tawa terkekeh. Mungkin ia
sudah 'terlalu terbiasa' diperlakukan demikian oleh teman2nya. Aku
berpura2 tersenyum. Mengusap kepalanya lembut tanpa mampu berkata2. Ziya
mungkin memang sudah siap bersosialisasi. Siap untuk berbagi dunia
uniknya kepada orang lain. Akan tetapi, yg menjadi permasalahan apakah
lingkungannya sudah siap menerima ziya.. Huft.. Ini tak semudah
kelihatannya. Tiba2, ziya menoleh, melihatku yang berada di balik
jendela. Ia lalu berjalan santai mendekatiku, dan memberi isyarat dengan
raut wajahnya. "abi, pulang aja" ujarnya. Aku mengangguk mengerti, lalu
dengan berat hati aku berbalik, melangkah pergi. "sabar ya nak.."
ucapku lirih.
No comments:
Post a Comment