Sholat Isya sudah selesai dikerjakan, barisan makmumnya mencapai
lima shaf ke belakang. Sedikit lebih banyak daripada sebelum wabah menyerang. Padahal
dulu, paling banyak hanyalah dua barisan. Ditambah anak-anak yang kerap
mengobrol dan berlarian, betapapun mereka sudah diperingatkan.
Lima shaf ini, mungkin salah satu hikmah dari pandemi. Kendati
harus memakai masker dan membawa sajadah sendiri-sendiri, tak menyurutkan
langkah mereka untuk hadir memenuhi panggilan Illahi.
Lima shaf ini, memang tak ada apa-apanya dibanding jumlah keseluruhan
warga. Separuhnya saja, tidak! Sebagian besarnya nyaman berlindung didalam rumah
yang hangat. Dinding-dinding rumah mereka seolah tak berpintu, mencegah mereka
keluar, memblokade keturunan adam dari sholat yang lima waktu.
Maka sungguhlah pantas jika virus ini enggan berlalu.
Angka-angka terpapar selalu bertambah sekian ribu. Jumlahnya terus meningkat
seiring waktu. Mungkin gegara terlalu banyak yang abai. Bukan, maksudku bukan
abai pada protokol-protokol itu. Namun menganggap kumandang tak lebih dari hembusan
angin lalu.
...
Zahdan sudah beranjak menghilang, lebih kurang setengah
menit setelah salam. Sajadah bergambar roketnya Ia tinggalkan terlipat di
sampingku. Tahu, setelah ini ada sholat rawatib dulu. Dan Zahdan mungkin lebih
memilih berada diluar untuk menunggu.
Atau mungkin juga Ia bertemu kawan sepermainannya. Byaz si
ahli kalkulasi, serta Jamil si kaki gesit. Ditambah Nabil dan Al, mereka memang
seolah tak henti-henti bermain bersama. Teramat riang menikmati dunia
kanak-kanaknya.
Dua menit berlalu, ternyata dugaanku salah!
Ketika hendak melangkah keluar masjid, mataku menangkap sesuatu
yang janggal. Sandal jepit yang sebelumnya kupakai, sudah berpindah dari
tempatnya yang semula. Bukan! Bukan tercerai berai akibat tak sengaja ditendang
orang. Namun justru tersedia rapi ,tepat di pintu keluar. Membuatku teramat
mudah untuk melangkah dan memakainya.
Kondisinya pun terlihat basah dan mengkilap, seperti yang
baru saja dibersihkan.
Jangan-jangan.. Zahdan?
Sejurus kemudian, sebuah bayangan terlihat bersembunyi di
belakang dinding. Dari warna bajunya, aku tahu bahwa itu pastilah Zahdan. Dia
hendak mengagetkanku dari tempat itu.
“BAAA!” teriaknya, sembari tertawa.
Alih-alih terkejut, aku malah mendekat ke kepalanya,
kemudian langsung berbisik menanyainya.
“Zahdan, ini barusan sandal Abi disiapin sama siapa?”
tanyaku.
“Sama Zahdan!” jawabnya.
“Beneran sama Zahdan?” ulangku.
Zahdan lagi-lagi mengangguk.
“Iya, bener! Udah Zahdan bersiin juga di tempat wudhu! Makanya
Zahdan tadi keluar duluan. Biar Abi ga susah-susah cari sama pakai sendal!”
paparnya, polos.
Giliran Aku yang mengangguk. Ada haru dan bangga mengetahui
apa yang Zahdan lakukan barusan. Sebuah bentuk perhatian yang kuyakin tidaklah
muncul secara instan. Sebuah sikap yang muncul dari rentetan proses yang panjang.
“O, begitu! Pantesan atuh.. Ma kasih ya Zahdan!” jawabku, mengelus
kepalanya, menyembunyikan mata yang sedikit berkaca.
Yang dielus terkekeh senang, menggamit tanganku melangkah
pulang.
Tak mau kalah, aku langsung berjongkok memunggunginya.
“Kenapa, abi?” tanya Zahdan, heran.
“Sini, naik ke punggung, Abi gendong sampe rumah. Kan tadi
Zahdan sudah nyiapin sendal abi, jadi hadiahnya abi gendong Zahdan” jawabku.
Zahdan tertawa.
“Sudah kuduga..” katanya.
Tak lama Zahdan langsung melompat, erat berpegangan pada pundak.
Aku lalu menggendongnya. Sepanjang perjalanan, anak itu berceloteh tentang bintang
dan planet. Tentang supermoon, tentang gambar kelinci di bulan. Mulutnya tak
henti-henti bercerita dan bertanya. Kepalanya ikut mendongak memperhatikan
langit malam.
Setiba di rumah, Zahdan turun dengan raut yang girang.
“Abi, ma kasih ya!” katanya.
Aku tersenyum mengiyakan.
Di mataku, Zahdan memang istimewa, Ia tak pernah sungkan
menunjukkan ekspresinya. Berbagai kebaikan, Ia lakukan tanpa berpikir panjang. Menolong
teman, menawarkan mainan, semua begitu saja dilakukan. Serona refleks. Termasuk
perihal menyiapkan sandal, entah darimana Zahdan mendapat ide seperti itu. Aku,
ataupun Umminya, rasa-rasanya tak pernah meminta Zahdan berbuat demikian.
***
Kejutan kedua, muncul beberapa hari kemudian.
“Abi, Zahdan mau adzan di mesjid ya?” pintanya, tiba-tiba.
“Lho, memang Zahdan sudah bisa?” Aku balik bertanya.
Zahdan mengangguk mantap. Akhir-akhir ini Ia memang kerap menonton
serial animasi Islami Rico, termasuk adzan khas anak-anaknya.
“Udah latihan?” tanyaku lagi, sedikit meragu.
“Sudah, sama Ummi!” jawabnya, yakin.
“Beneran hafal? Yang namanya adzan itu gak boleh main-main
lho, harus serius!” kataku.
Bukannya mundur, Zahdan malah terlihat semakin bersemangat
mengangguk.
“Iya, tapi nanti temenin dulu sama Abi ya? Jadi kalau lupa,
ada Abi yang kasih tahu” jawabnya.
Hm, masuk akal juga!
Kendati sebetulnya masih ragu, Aku terpaksa mengangguk.
...
Dan besok siangnya, ketika aku masih terlampau khusyu
mengecat dinding, terdengar sayup adzan dari mesjid di kejauhan. Zahdan langsung
meloncat girang, setengah berlari menuju ke mesjid.
“Abi ayo cepet! Zahdan mau adzan!” teriaknya.
“Eh.. iya.. iya! Sebentar!”
Aku meletakkan kuas sembarang, lalu tergopoh-gopoh menyusul
Zahdan. Tak sempat cuci tangan dan wudhu. Malahan masih memakai kaos dan celana
berlumuran cat.
“Aduh, Zahdan lupa bawa sajadahnya!” ucap Zahdan, di tengah
jalan.
“Gak apa-apa, nanti abi bawain! Kita ke mesjid saja dulu!” kataku.
Dan benar saja, dengan microphone yang kupegangi di depan
mulutnya, Zahdan langsung mengumandangkan adzan tanpa tertahan. Tak tertawa,
terlihat serius seperti yang pernah kuperingatkan. Urutannya tepat seperti kala
latihan. Hanya sekali dia melirikku, sedikit lupa dengan kalimat berikutnya.
Aku segera membisikinya pelan.
“Laa ilaha illallah..” pungkasnya.
Aku tersenyum, mematikan micropohone. Lalu seperti biasa
mengelus kepalanya, sembari menyembunyikan mata yang sedikit berkaca.
“Zahdan tunggu disini ya, Abi pulang mau cuci tangan sama ganti
baju dulu. Nanti sajadah Zahdan abi bawain sekalian” kataku.
...
Singkat cerita,
“Ayo naik!” ucapku, selesai sholat. Menyuruhnya naik ke
punggung untuk digendong.
“He.. pasti karena tadi Zahdan sudah adzan ya Abi?”
tanyanya.
Aku mengangguk.
“Sudah kuduga” jawab Zahdan, sambil terkekeh sesaat. Tak
lama, Ia langsung melompat. Berpegang erat ke atas pundak. Dan sepanjang
perjalanan pulang, anak itu lagi-lagi bercerita banyak.
***
Kejutan ketiga, tertutur tepat di hari kemerdekaan Republik Indonesia. Yakni ketika Zahdan antusias mengikuti berbagai lomba.
"Abi, Zahdan mah mau ikutan lomba balap kelereng, masukin paku ke botol, sama lomba tarik sarung!" katanya.
"Iya, boleh!" jawabku.
"Do'ain ya, biar Zahdan menang" kata Zahdan lagi.
Aku tersenyum.
"Zahdan, yang penting mah berjuang aja dulu sekuat tenaga. Gak usah pikirin menang atau kalah. Jangan lupa baca Bismillah dulu, jadi biarpun gak menang, di catatan malaikat mah Zahdan sebenarnya udah menang, jadi ibadah, jadi pahala. Hadiah dari Allah mah, jauh lebih bagus dan hebat dibanding hadiah lomba" paparku.
Zahdan mengangguk mengerti, tapi sesaat kemudian langsung tertegun.
"Kenapa? Zahdan pengen banget menang ya?" tanyaku.
Zahdan mengiyakan, menoleh padaku, lalu berkata dengan polosnya.
"Soalnya tadi Zahdan liat hadiahnya. Nah, hadiahnya itu makanan banyak. Ada satu makanan yang kesukaan Abi. Zahdan pengen menang biar bisa kasih makanan itu buat Abi.." jawab Zahdan.
Hampir-hampir saja Aku meleleh mendengarnya. Untuk beberapa jeda aku terdiam, bingung harus menjawab apa.
"Em.. Gak usah, Nak! Ma kasih.. Zahdan konsentrasi saja sama perlombaannya. Baca bismillah, terus berusaha sebaik-baiknya" nasihatku.
Ya, itulah Zahdan. Anak berponi pembawa kejutan, kapten
bajak laut yang tak pernah sungkan unjuk kemampuan. Menawarkan kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Besok lusa kala Ia dewasa, entah
kejutan-kejutan positif apa lagi yang kan dibawakannya.