20/07/2020

Tangis Palsu


Sinar matahari pagi takzim menyirami bumi. Menghamparkan cahaya di jalan-jalan, memberi hangat di lembar dedaunan. Sekali dua angin bertiup dengan lembut, membuat daun bergoyang dan melambai-lambai. Tak apa! Sebait tari menyapa pagi, tak lantas membuat prosesi ajaib fotosintesis menjadi terhenti. 

Ah, lihat! Putihnya bunga salju bahkan beterbangan ke langit biru. Sedangkan bunga yang lain bermekaran indah mengundang kupu-kupu. Cuitan burung gereja, saling bersahutan di atap dan pucuk tertinggi, ramai berebut mendendangkan dzikir pagi. 

Masya Allah, andaikan permulaan hari selalu seindah ini, rasanya pandemi yang mencekam itu tiada berarti. 

Tahun ini, sepertinya adalah tahun kesusahan di seantero negara. Kecemasan melanda, ketakutan merebak di mana-mana. Wabah virus yang belum ada obatnya, sempurna memicu kegelisahan makhluk bernama manusia. Para pekerja dirumahkan, murid-murid diliburkan, kerumunan-kerumunan dibubarkan, semua demi memutus mata rantai penyebaran.

Dan kesemuanya itu tentu belum bisa dimengerti Zhira. Yang pasti, si kecil itu riang melihat kakak-kakaknya berada di rumah setiap hari. Dia melihat juga mereka diteriaki agar mencuci tangan acapkali. Habis jajan dari warung-lah, habis main di luar-lah, aku terus mengingatkan mereka agar tak bosan-bosan mencuci tangan. 

“Kak Ziya, Zahdan, inget! Nanti sebelum masuk rumah, cuci tangan dulu pakai sabun!” teriakku.

Yang diteriaki membalas dengan anggukan. Mereka masih berkutat dengan kegiatannya masing-masing. Ziya mengayuh sepedanya berkeliling komplek, dan Zahdan menendang-nendang bola plastik di jalan depan rumah. 

Apapun itu, yang penting mereka harus berjemur setiap hari. Kata para ahli, ini adalah salah satu upaya untuk meningkatkan sistem imun. Dan virus tak akan mempan pada sistem imun yang kuat. Karenanya, minimal setengah jam anak-anak disuruh berada di luar. Mau menggambar di jalan, memangkas rumput di halaman, membantu membersihkan selokan, atau bermain bola seperti sekarang. Yang penting mereka terkena hangatnya matahari pagi.

“Tendangan Super!” kata Zahdan, lantang, kaki kanannya menendang bola sekuat tenaga.

Wush! Aku menghentikan bola itu dengan sebelah kaki. Zahdan merenggut, anak itu begitu berambisi ingin melihatku kesulitan menghentikan bola.

“Lebih keras lagi, anak kecil!” kataku, mengembalikan bola padanya.

Zahdan menyeringai,
“Jangan panggil aku anak kecil, abi! Panggil aku, Zahdan! Aku, Zahdan!” katanya, penuh percaya diri.

WUSH!
Bola kedua ditembakkan, sebuah tendangan yang cukup kuat. 

HAP! Lagi-lagi aku bisa menghentikannya tanpa kesulitan. Aku pun pura-pura menguap, merasa bosan dengan tendangan Zahdan.

“Hoaahem! Itu saja, anak kecil?” pancingku, sembari mengembalikan bola pelan.

Zahdan menggaruk kepalanya sebentar, mengatupkan rahang, lalu mengambil ancang-ancang.

“TENDANGAN SUPEER!” teriaknya, menendang bola sekuat tenaga.   
WUSH! Bola melesat cepat, aku langsung bersiap.

Sayang, arah bola ternyata melenceng sekian derajat, membuatnya menggelinding bukan ke arahku, melainkan masuk tepat ke dalam selokan di sisi kanan.

Aku yang sudah refleks melompat, mengejar untuk menghentikan bola tersebut, ternyata gagal. Bola itu melenceng terlalu jauh dan keburu tercebur. Mengundang gerutu dari mulutku.

“Hei, menendang ke mana itu? Ke pasar?” sindirku.

Alih-alih tersindir, Zahdan malah berteriak ‘GOOL’ kegirangan. Mungkin buatnya, gol artinya tak bisa dihentikan lawan, bagaimanapun caranya. Termasuk menendang ke selokan.

Terbukti, di tendangan ketiga, keempat, dan seterusnya. Zahdan justru menyengaja mengarahkannya ke selokan. Jika tak di selokan sebelah kanan, ya selokan sebelah kiri. Membuatku harus berjibaku mengejarnya. Lagi-lagi menggerutu.

“Euh, kalo nendangnya ke selokan mah Zhira juga bisa atuh!” kataku.

Zahdan tak mendengarkan, masih berteriak ‘gool’ sambil tertawa terpingkal-pingkal. Senang sekali dia melihatku kesulitan seperti ini. Tendangan supernya berhasil dengan sukses.

Tiba-tiba, Zhira kecil keluar. Anak itu sudah selesai mandi, bajunya pun sudah diganti. Tak sabar, dia berlari-lari kecil menuju ke arahku.

“Abiii!” katanya, dua tangannya direntangkan. Itu adalah tanda jika Zhira ingin dipeluk,  biasanya Zhira bersikap seperti itu hanya ketika aku pulang kerja. Namun semakin hari, anak itu merentangkan tangan sesukanya. Habis jajan dari warung, atau habis bermain dari rumah tetangga. 

Bahkan, hanya setelah berjalan beberapa meter, berbalik melihatku, lalu langsung berlari sambil merentangkan tangan. Berteriak memanggilku dengan senyuman girang. Ah, tampaknya Zhira memang anak yang penuh cinta. 

Aku berhenti sejenak, urung memungut bola, dan langsung beralih menyambut Zhira. 

“Zhiraa!” ucapku, langsung memeluknya.
Yang dipeluk sumringah bukan buatan. Wajahnya begitu menggemaskan.

“Hmh, sudah wangi eung, baru ibak ya? Mau main bola, yuk! Zhira tendang bolanya ke kakak Zahdan” ajakku.

Zhira mengerti, kepalanya mengangguk mengiyakan.

“Bola.. bola.. tendang..” ucapnya.

Aku menyodorkan bola ke depan kakinya, membiarkan Zhira menendang.
Di depan sana, Zahdan terkekeh, setengah meremehkan.

“Ayo, Zhira! Sini tendang ke arah kakak!” katanya. Zahdan memang sudah bisa mengajak main Zhira. Mengajaknya bercanda sedemikian rupa, bukti rasa sayang yang besar pada adiknya. 

Zhira menendang pelan, bola menggelinding, dan ditahan Zahdan dengan mudahnya.

“Lebih keras lagi, Zhira! Eh, lebih keras lagi, anak kecil!” kata Zahdan, meniru kata-kataku.
 Zhira terpatah-patah mendekati bola yang diberikan, lalu menendang pelan.
DUK! Bola menggelinding ke arah Zahdan. Berhenti sendiri tanpa harus ditahan.
Zahdan terkekeh senang.

“Ha? Itu saja?” katanya, menyepelekan. Tak lupa sambil berpura-pura menguap bosan.

Zhira menghampiri lagi bola di dekatnya, kemudian bersiap-siap menendang. Aku yang geregetan melihatnya, langsung menyambar Zhira, mengayunkan badannya hingga kedua kaki Zhira mengenai bola. 

WUSH! Bola menggelinding ke depan. Namun karena tidak diarahkan, bola tersebut justru langsung masuk ke selokan. Zahdan tak bisa menghentikannya meski sudah berusaha.

“Horee! Gool!” ucapku, lalu bertepuk tangan, tos, lalu mengangkat Zhira beberapa kali.
 Zhira ikut tertawa dan bertepuk tangan, meniru kata-kata gol yang kuucapkan.

Sedangkan Zahdan, terpaksa harus membungkuk mengambil bola. Wajahnya sedikit bersungut.

“Ini mah bukan gol atuh! Masa nendangnya ke selokan?” gerutunya, lupa jika tadi dia juga  menyengaja menendang ke arah yang sama.

Aku hendak menyanggah, namun tiba-tiba muncul umminya membawa piring berisi nasi.
“Zhira, makan dulu ya!” katanya.

Zhira akhir-akhir ini sering menolak makan nasi. Mungkin karena lebih suka melahap jajanan dari warung. Katakanlah wafer yang yang kriuk, coklat yang manis, atau biskuit yang menggigit. Lidah Zhira pasti lebih menyukai rasa-rasa itu ketimbang nasi. 

“Pegangin Bi, biar ga kabur lagi!” tegas umminya. Raut wajahnya menunjukkan, bahwa dia merasa Zhira akan menolak hingga melarikan diri.

Benar saja, Zhira cepat-cepat berpaling, lalu bergerak menjauhi. Bahkan, Zhira menutup mulutnya rapat-rapat.

“Ayo anak pinter, makan dulu! Ini, sama tempe kesukaan Zhira, ya!” bujuk umminya.

Zhira keukeuh menggeleng. Tak mau makan nasi. Zhira memilih sekuat tenaga menepis sendok, memelukku, lalu tiba-tiba menangis, meminta perlindungan.

UWAA...! UWAA..!
Aku refleks menyambutnya. Memeluk, lalu menggendongnya.

UWAA..! UWAA..! Zhira tak berhenti menangis, terus memelukku sambil terisak-isak.

“Sudah, sudah, jangan nangis. Zhira disuapin nasi ‘kan biar Zhiranya gak laper. Biar Zhiranya kuat, makin tinggi. Itu lihat, kayak kakak Zahdan. Kak Zahdan bisa nendang bola pakai tendangan super karena kakinya kuat, soalnya makan nasinya banyak” bujukku.

“Iya Zhira. Nanti Zhira bisa lompat tinggi kayak gini ini, HUP!” kata Zahdan, lalu melakukan gerakan lompatan. Lupa akan gerutunya masalah bola tadi.

UWAA..! WAA..!
Zhira tetap menangis, menyembunyikan wajahnya di pundakku.

“Ayo dong Zhira, makan nasi dulu ya. Nanti sudah makan nasi mah baru boleh jajan ke warung. Itu perutnya belum gendut kalo belum makan nasi mah..” bujukku lagi.

“Iya Zhira, lihat! Perutnya nanti gendut kayak perut kakak, ini..!” Zahdan ikut membujuk, sambil menunjukkan perutnya, yang sengaja lebih dimajukan agar kelihatan gemuk.

WAA..! WA..!
Zhira masih saja menangis. Membuat Umminya menggelengkan kepala dan menghela napas.

Beruntung, aku baru menyadari tangis Zhira ini ternyata sedikit berbeda. Tak ada isak-isak sebagaimana mestinya. Aku pun lalu menghadapkan kepala Zhira padaku. Lalu melihat sesuatu yang janggal.

“Eh, kok ini mah nangis teh gak ada air matanya? Aneh..!” kataku.

UWAA..! WAA..!
Zhira masih berpura-pura nangis.

“Aah, Abi juga tahu, ini mah nangis boongan ya.. Nangisnya cuma pura-pura! Abi gelitikin geura..!” ucapku, lalu mulai menggelitikinya.
Zhira mendadak tertawa kegelian. Tangisnya yang tadi hilang begitu saja. Suara sedihnya lenyap entah kemana.

Anak ini ternyata sudah bisa berakting menangis, berpura-pura. Hanya agar bisa diperbolehkan tidak disuapi nasi.

Duh.. ada-ada saja. Zahdan bahkan mendekat, lalu ikutan menggelitiki Zhira sambil tertawa.

-TAMAT-

No comments:

Post a Comment