Sinar matahari pagi takzim menyirami bumi. Menghamparkan
cahaya di jalan-jalan, memberi hangat di lembar dedaunan. Sekali dua angin
bertiup dengan lembut, membuat daun bergoyang dan melambai-lambai. Tak apa! Sebait
tari menyapa pagi, tak lantas membuat prosesi ajaib fotosintesis menjadi terhenti.
Ah, lihat! Putihnya bunga salju bahkan beterbangan ke
langit biru. Sedangkan bunga yang lain bermekaran indah mengundang kupu-kupu.
Cuitan burung gereja, saling bersahutan di atap dan pucuk tertinggi, ramai
berebut mendendangkan dzikir pagi.
Masya Allah, andaikan permulaan hari selalu seindah ini,
rasanya pandemi yang mencekam itu tiada berarti.
Tahun ini, sepertinya adalah tahun kesusahan di seantero
negara. Kecemasan melanda, ketakutan merebak di mana-mana. Wabah virus yang
belum ada obatnya, sempurna memicu kegelisahan makhluk bernama manusia. Para
pekerja dirumahkan, murid-murid diliburkan, kerumunan-kerumunan dibubarkan,
semua demi memutus mata rantai penyebaran.
Dan kesemuanya itu tentu belum bisa dimengerti Zhira.
Yang pasti, si kecil itu riang melihat kakak-kakaknya berada di rumah setiap
hari. Dia melihat juga mereka diteriaki agar mencuci tangan acapkali. Habis
jajan dari warung-lah, habis main di luar-lah, aku terus mengingatkan mereka
agar tak bosan-bosan mencuci tangan.
“Kak Ziya, Zahdan, inget! Nanti sebelum masuk rumah, cuci
tangan dulu pakai sabun!” teriakku.
Yang diteriaki membalas dengan anggukan. Mereka masih
berkutat dengan kegiatannya masing-masing. Ziya mengayuh sepedanya berkeliling
komplek, dan Zahdan menendang-nendang bola plastik di jalan depan rumah.
Apapun itu, yang penting mereka harus berjemur setiap
hari. Kata para ahli, ini adalah salah satu upaya untuk meningkatkan sistem
imun. Dan virus tak akan mempan pada sistem imun yang kuat. Karenanya, minimal
setengah jam anak-anak disuruh berada di luar. Mau menggambar di jalan,
memangkas rumput di halaman, membantu membersihkan selokan, atau bermain bola
seperti sekarang. Yang penting mereka terkena hangatnya matahari pagi.
“Tendangan Super!” kata Zahdan, lantang, kaki kanannya
menendang bola sekuat tenaga.
Wush! Aku menghentikan bola itu dengan sebelah kaki.
Zahdan merenggut, anak itu begitu berambisi ingin melihatku kesulitan
menghentikan bola.
“Lebih keras lagi, anak kecil!” kataku, mengembalikan
bola padanya.
Zahdan menyeringai,
“Jangan panggil aku anak kecil, abi! Panggil aku, Zahdan!
Aku, Zahdan!” katanya, penuh percaya diri.
WUSH!
Bola kedua ditembakkan, sebuah tendangan yang cukup kuat.
HAP! Lagi-lagi aku bisa menghentikannya tanpa kesulitan.
Aku pun pura-pura menguap, merasa bosan dengan tendangan Zahdan.
“Hoaahem! Itu saja, anak kecil?” pancingku, sembari
mengembalikan bola pelan.
Zahdan menggaruk kepalanya sebentar, mengatupkan rahang,
lalu mengambil ancang-ancang.
“TENDANGAN SUPEER!” teriaknya, menendang bola sekuat
tenaga.
WUSH! Bola melesat cepat, aku langsung bersiap.
Sayang, arah bola ternyata melenceng sekian derajat,
membuatnya menggelinding bukan ke arahku, melainkan masuk tepat ke dalam
selokan di sisi kanan.
Aku yang sudah refleks melompat, mengejar untuk
menghentikan bola tersebut, ternyata gagal. Bola itu melenceng terlalu jauh dan
keburu tercebur. Mengundang gerutu dari mulutku.
“Hei, menendang ke mana itu? Ke pasar?” sindirku.
Alih-alih tersindir, Zahdan malah berteriak ‘GOOL’
kegirangan. Mungkin buatnya, gol artinya tak bisa dihentikan lawan,
bagaimanapun caranya. Termasuk menendang ke selokan.
Terbukti, di tendangan ketiga, keempat, dan seterusnya.
Zahdan justru menyengaja mengarahkannya ke selokan. Jika tak di selokan sebelah
kanan, ya selokan sebelah kiri. Membuatku harus berjibaku mengejarnya. Lagi-lagi
menggerutu.
“Euh, kalo nendangnya ke selokan mah Zhira juga bisa
atuh!” kataku.
Zahdan tak mendengarkan, masih berteriak ‘gool’ sambil
tertawa terpingkal-pingkal. Senang sekali dia melihatku kesulitan seperti ini.
Tendangan supernya berhasil dengan sukses.
Tiba-tiba, Zhira kecil keluar. Anak itu sudah selesai
mandi, bajunya pun sudah diganti. Tak sabar, dia berlari-lari kecil menuju ke
arahku.
“Abiii!” katanya, dua tangannya direntangkan. Itu adalah
tanda jika Zhira ingin dipeluk, biasanya
Zhira bersikap seperti itu hanya ketika aku pulang kerja. Namun semakin hari,
anak itu merentangkan tangan sesukanya. Habis jajan dari warung, atau habis
bermain dari rumah tetangga.
Bahkan, hanya setelah berjalan beberapa meter, berbalik
melihatku, lalu langsung berlari sambil merentangkan tangan. Berteriak
memanggilku dengan senyuman girang. Ah, tampaknya Zhira memang anak yang penuh
cinta.
Aku berhenti sejenak, urung memungut bola, dan langsung
beralih menyambut Zhira.
“Zhiraa!” ucapku, langsung memeluknya.
Yang dipeluk sumringah bukan buatan. Wajahnya begitu
menggemaskan.
“Hmh, sudah wangi eung, baru ibak ya? Mau main bola, yuk!
Zhira tendang bolanya ke kakak Zahdan” ajakku.
Zhira mengerti, kepalanya mengangguk mengiyakan.
“Bola.. bola.. tendang..” ucapnya.
Aku menyodorkan bola ke depan kakinya, membiarkan Zhira
menendang.
Di depan sana, Zahdan terkekeh, setengah meremehkan.
“Ayo, Zhira! Sini tendang ke arah kakak!” katanya. Zahdan
memang sudah bisa mengajak main Zhira. Mengajaknya bercanda sedemikian rupa,
bukti rasa sayang yang besar pada adiknya.
Zhira menendang pelan, bola menggelinding, dan ditahan
Zahdan dengan mudahnya.
“Lebih keras lagi, Zhira! Eh, lebih keras lagi, anak
kecil!” kata Zahdan, meniru kata-kataku.
Zhira terpatah-patah mendekati bola yang diberikan, lalu menendang
pelan.
DUK! Bola menggelinding ke arah Zahdan. Berhenti sendiri
tanpa harus ditahan.
Zahdan terkekeh senang.
“Ha? Itu saja?” katanya, menyepelekan. Tak lupa sambil
berpura-pura menguap bosan.
Zhira menghampiri lagi bola di dekatnya, kemudian
bersiap-siap menendang. Aku yang geregetan melihatnya, langsung menyambar
Zhira, mengayunkan badannya hingga kedua kaki Zhira mengenai bola.
WUSH! Bola menggelinding ke depan. Namun karena tidak
diarahkan, bola tersebut justru langsung masuk ke selokan. Zahdan tak bisa
menghentikannya meski sudah berusaha.
“Horee! Gool!” ucapku, lalu bertepuk tangan, tos, lalu
mengangkat Zhira beberapa kali.
Zhira ikut tertawa dan bertepuk tangan, meniru kata-kata
gol yang kuucapkan.
Sedangkan Zahdan, terpaksa harus membungkuk mengambil
bola. Wajahnya sedikit bersungut.
“Ini mah bukan gol atuh! Masa nendangnya ke selokan?”
gerutunya, lupa jika tadi dia juga menyengaja menendang ke arah yang sama.
Aku hendak menyanggah, namun tiba-tiba muncul umminya
membawa piring berisi nasi.
“Zhira, makan dulu ya!” katanya.
Zhira akhir-akhir ini sering menolak makan nasi. Mungkin
karena lebih suka melahap jajanan dari warung. Katakanlah wafer yang yang
kriuk, coklat yang manis, atau biskuit yang menggigit. Lidah Zhira pasti lebih
menyukai rasa-rasa itu ketimbang nasi.
“Pegangin Bi, biar ga kabur lagi!” tegas umminya. Raut
wajahnya menunjukkan, bahwa dia merasa Zhira akan menolak hingga melarikan
diri.
Benar saja, Zhira cepat-cepat berpaling, lalu bergerak
menjauhi. Bahkan, Zhira menutup mulutnya rapat-rapat.
“Ayo anak pinter, makan dulu! Ini, sama tempe kesukaan
Zhira, ya!” bujuk umminya.
Zhira keukeuh menggeleng. Tak mau makan nasi.
Zhira memilih sekuat tenaga menepis sendok, memelukku, lalu tiba-tiba menangis,
meminta perlindungan.
UWAA...! UWAA..!
Aku refleks menyambutnya. Memeluk, lalu menggendongnya.
UWAA..! UWAA..! Zhira tak berhenti menangis, terus
memelukku sambil terisak-isak.
“Sudah, sudah, jangan nangis. Zhira disuapin nasi ‘kan
biar Zhiranya gak laper. Biar Zhiranya kuat, makin tinggi. Itu lihat, kayak
kakak Zahdan. Kak Zahdan bisa nendang bola pakai tendangan super karena kakinya
kuat, soalnya makan nasinya banyak” bujukku.
“Iya Zhira. Nanti Zhira bisa lompat tinggi kayak gini
ini, HUP!” kata Zahdan, lalu melakukan gerakan lompatan. Lupa akan gerutunya
masalah bola tadi.
UWAA..! WAA..!
Zhira tetap menangis, menyembunyikan wajahnya di
pundakku.
“Ayo dong Zhira, makan nasi dulu ya. Nanti sudah makan
nasi mah baru boleh jajan ke warung. Itu perutnya belum gendut kalo belum makan
nasi mah..” bujukku lagi.
“Iya Zhira, lihat! Perutnya nanti gendut kayak perut
kakak, ini..!” Zahdan ikut membujuk, sambil menunjukkan perutnya, yang sengaja lebih
dimajukan agar kelihatan gemuk.
WAA..! WA..!
Zhira masih saja menangis. Membuat Umminya menggelengkan
kepala dan menghela napas.
Beruntung, aku baru menyadari tangis Zhira ini ternyata
sedikit berbeda. Tak ada isak-isak sebagaimana mestinya. Aku pun lalu
menghadapkan kepala Zhira padaku. Lalu melihat sesuatu yang janggal.
“Eh, kok ini mah nangis teh gak ada air matanya? Aneh..!”
kataku.
UWAA..! WAA..!
Zhira masih berpura-pura nangis.
“Aah, Abi juga tahu, ini mah nangis boongan ya.. Nangisnya
cuma pura-pura! Abi gelitikin geura..!” ucapku, lalu mulai
menggelitikinya.
Zhira mendadak tertawa kegelian. Tangisnya yang tadi
hilang begitu saja. Suara sedihnya lenyap entah kemana.
Anak ini ternyata sudah bisa berakting menangis,
berpura-pura. Hanya agar bisa diperbolehkan tidak disuapi nasi.
Duh.. ada-ada saja. Zahdan bahkan mendekat, lalu ikutan
menggelitiki Zhira sambil tertawa.
-TAMAT-