Yeiyy..! Lorong waktu yang mengetuk pintu, akhirnya ramai-ramai
datang bertamu. Tak menunggu, segera saja aku menyilakan mereka,
menyambut setiap lembarnya dengan gembira bercampur haru.
Iya, haru! Klise sekali bukan?
Ah, andai kau tahu berapa waktu sungguhan yang kuhabiskan untuk
menulisnya, serta berapa sabar yang harus kutelan dalam merevisinya,
maka boleh jadi kau ‘kan urung menganggap haru itu klise belaka.
Karena layaknya bahasa loop, maka do bermula ketika ide menyambar
kepala. Kemudian, berpuluh if-then terunggah tanpa bisa dicegah. Next,
text demi text menjelma visible, memadati box dalam sejumlah character.
Muncul Error, di-fix. Error lagi, di-fix lagi.
Masih error, aku langsung menelan ludah, kesal menggelengkan kepala,
lalu pergi memandangi air terjun sambil memeluk lutut, berteriak
meratap-ratap.
Terakhir, aku menelan obat pereda sakit kepala, minum
bercangkir-cangkir kopi, untuk kemudian kembali berusaha melakukan fix
sedari line pertama.
Memang benar kata pepatah, menuliskan end ternyata tak semudah membalik telapak tangan.
Serius!
Coba saja jika telapak tanganmu terbalik betulan, punggung tanganmu
mendadak terbalik menjadi telapak, bagaimanalah kau akan bertepuk?
Bagaimana kau bersalaman dengan kawan? Atau bahkan melahap kulit durian yang tajam? Mustahil, kan?
Maka, biarlah kini aku merayakan sendiri keharuanku bersama Lorong
Waktu. Dan kalau kau mau, kau pun boleh merayakan klise yang sama.
#LorongWaktuDiSMK1
No comments:
Post a Comment