24/02/2020

Fiksi vs Motivasi

Banyak orang tak tahu, salah satu yang mempertemukan Aku dan Umminya anak-anak adalah buku.

Serupa denganku, Ia pun sejatinya gemar membaca. Bedanya, jenis yang Ia sukai adalah buku-buku motivasi. Sebut saja buku “Zero to Hero”, “Burn Yourself”, dan “Setengah Isi Setengah Kosong”. Belum lagi ditambah buku sejuknya Aa Gym dan dahsyatnya paparan Dr. Ibrahim Elfiky, praktis menjadikan Ia orang yang selalu optimis dalam menjalani hidup ini.

Sedangkan Aku, sejak dulu sudah mengoleksi buku dan novel-novel fiksi. Deretan karya Tere Liye, Habibburahman el Shirazy, Andrea Hirata, serta Waheeda el Humayra, adalah yang selalu menarik untuk dijelajahi.

Ya, Kami memang menggemari jenis buku yang tak sama. Membuat kami berdua memandang dunia dari jendela yang berbeda.

Terbukti tatkala Ziya berurai air mata, menangis karena sebuah kesedihan yang datang melanda, Umminya akan melecutnya dengan kalimat-kalimat motivasi. Ia akan membakarnya dengan sikap menguatkan diri. Mendorongnya untuk mengangkat kepala, bangkit, dan menghadapi kesedihan itu dengan pribadi yang lebih kokoh lagi.

Berbeda denganku, yang lebih sering menghibur kesedihannya dengan cerita-cerita. Kisah saat langit menghujankan air matanya, atau dongeng-dongeng perihal sedih dan torehan luka. Terkadang Aku menceritakan pula saat dulu dilanda sedih yang sama, membelainya dengan dunia imajinasi yang tak semua orang mengerti, serta menghapus bening kristal di pipi dengan selembar saputangan fiksi.

Berharap kisah itu membuatnya tetap bijaksana walau tengah dirundung duka.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Kami saling belajar satu sama lain. Aku mati-matian belajar untuk sekedar berkata “ayo bangun, Ziya pasti bisa!”, “maju Zahdan! Kau kan anak yang pemberani!”, atau “ma kasih ya, kalian memang anak-anak Abi yang hebat!”.

Sedangkan Umminya belajar pula untuk bercerita, mendampingi Ziya dan Zahdan sesaat sebelum merajut mimpi-mimpinya.

“Ummi mau cerita tentang.. em.. KECOA!” ucapnya. Yang lalu disambut anak-anak dengan kecewa.

“Kecoa lagii?” jawab Ziya.

“Yaah.. Kan itu mah udah pernah diceritain kemarin Ummi” kata Zahdan.

“Kemarin kemarinnya juga..” timpal Ziya.

“Cerita yang lain atuh Ummii.. jangan kecoa terus!” balas Zahdan.

“Em.. bentar..bentar.. Emm.. cerita apa lagi atuh ya? Euh..” Ummi berfikir keras, tak ada bab khusus imajinasi di literaturnya.

 Aku hanya terkekeh mendengarnya. Nah lho.. Hehe..

No comments:

Post a Comment