07/11/2019

Proud of You


“Astaghfirullaah… Tenaaang.. tenaang..” Ziya berkata pelan pada diri sendiri.

Setelah berulang kali melemparkan pandangan keluar jendela, berulang kali pula bertanya padaku sudah jam berapa. Boleh jadi, Ziya merasa menit demi menit bergeser terlalu cepat. Dan Ia berkeinginan kuat untuk menjadikan detiknya berjalan melambat. Sesuatu yang di dunia nyata ini tak mungkin diperbuat.

“Jam berapa, Abi?” tanya Ziya, dengan gugup yang kian kentara.

“Jam 9 kurang lima belas. Masih ada waktu sekitar lima belas menit lagi” jawabku.

Ziya mengusap wajahnya yang terasa kebas. Ia berusaha menarik nafas dan menghembuskannya dengan teratur. Hmft… Fuuuh.. Hmft… Fuuuh…

Melihatnya demikian, Aku jadi ikut-ikutan gugup. Apa Ziya bisa? Apa Ziya mampu? Apa saja yang akan Ia paparkan disana? Meski jelas-jelas seorang guru favoritnya yang mendampingi, tetap saja ada secuil khawatir yang mendera hati.

Ya, hari ini Ziya diundang menjadi tamu di sebuah Sekolah Dasar, SD Pelangi namanya. Semua berkaitan dengan bulan Bahasa dan Sastra yang tengah mereka selenggarakan. Ziya bahkan diminta pula membawa buku ‘Hilma yang Amanah’, antologi dimana cerpen Ziya menjadi salah satu yang dimuat didalamnya.

Ini adalah pertama kalinya Ziya berbicara terkait literasi, sesuatu yang biasanya Ia jalani bukan dengan berteori, melainkan murni sebagai hobi. Tak heran jika Ziya menjadi gugup, betapapun Aku berkali-kali berkata ‘tenang saja’.

Terlebih, bagi kami kaum ‘introvert’, tampil di muka umum adalah satu kesulitan tersendiri. Tampil seperti itu membutuhkan energi yang lebih besar lagi. Rasa-rasanya, lebih baik menulis sekian puluh halaman, ketimbang berbicara kurang dari setengah jam.

Lima menit sebelum dimulai, Aku tergopoh-gopoh membelikan sekotak susu coklat kesukaan Ziya. Berharap setelah meminumnya, Ia akan lebih merasa santai.

Hingga tak lama kemudian, Ziya melenggang pergi. Disambut masuk di kelas itu seorang diri. Meninggalkanku yang gemetar dan sibuk berkata pada diri. ‘Astaghfirullaah.. Tenaaang.. tenaaaang’. 

“Abi, yang ini boleh dipajang di dinding ya?” pinta Ziya, dengan wajah yang lega dan tersenyum begitu bangga. 

Ia berkata demikian sembari menyodorkan sebuah penghargaan berbingkai. Penghargaan yang bertuliskan nama lengkap Ziya diatasnya.

Akupun mengangguk, lalu mengambil palu dan sebuah paku. Memasangkannya, hampir bersisian dengan piala lomba mewarnainya bertahun yang lalu. Untuk sesaat, Aku menatapnya penuh haru.
Duh, anak pertamaku itu sudah mulai beranjak remaja. Ia sudah bersiap menorehkan sendiri prestasi-prestasinya. Melesat tinggi, meraih apa yang selama ini dibatasi mimpi. Membuatku harus berkata untuk ke sekian kali, 

‘Ziya, Kau pasti bisa menjadi lebih hebat lagi. Kau pasti bisa meraih apa yang kau ingini. Kau kan bisa terus berprestasi, jauh tinggi melampaui Abi. I'm very proud of You..!




No comments:

Post a Comment