02/08/2019

Gratis..

Selalu ada keadaan dimana pensilmu terpatahkan. Dan selalu ada situasi dimana lembaran bukumu terkoyakkan. Beragam pahit terus memaksa jemarimu untuk berhenti menulis, pedihnya terus menyeret lidahmu untuk bersikap pasrah, sedangkan jerinya mendesakmu untuk lekas-lekas menyerah.

Apalah dikata, sepanjang Kau bukan Tere Liye, maka karyamu kan tetap dipandang sebelah mata. Dan selama Kau bukan Habiburrahman el Shirazy, maka bukumu kan dianggap gratis oleh siapapun juga. Saudara, kawan, tetangga, semua berkata hal yang sama.. “Bagi satu ya!”, “Gratis ya!”.

Hmpft..

Sedih? Tentu saja. Lantaran butuh berminggu-minggu untuk menulisnya, dan butuh berbulan-bulan untuk melakukan risetnya saja. Ditambah dengan bermalam-malam begadang, serta bercangkir-cangkir kopi sebagai kawan. Dan semua pengorbanan itu terpaksa kandas dibawah kalimat tajam .. “masih untung ada yang mau baca!”.

JLEB..

Kecewa? Jangan tanya. Karena dalam segala keterbatasan, diri harus berusaha berkali lipat lebih banyak. Evaluasi lalu revisi, serta revisi kemudian evaluasi. Begitu terus.. Alami kondisi jatuh bangun berkali-kali, lewati berpayah-payah dalam segala lelah. Sampai akhirnya terhempas kedalam lembah, ‘tak peduli’.

Iya, Kau suka menulis.

Dan iya, Kau membuat buku.

Lantas kenapa?

JLEB..

Maka adalah sebuah keajaiban jemari ini kembali menari menyusun aksara. Adalah absurd lidah ini terus berupaya mendendangkan cerita. Tidakkah semuanya itu percuma?


“Abi, Ziya waktu dulu lahir teh ngga nangis ya?” tanya Maziya, sang anak pertama.

“Waktu dulu Ziya sering kena asma ya?” lanjutnya

Aku mengangguk sembari tersenyum.

“Iya, kan ceritanya juga ada di buku Ragam Cerita Bersama Ziya” jawabku.

Ziya ikut tersenyum, senang lantaran kisah tentangnya diabadikan dalam tulisan.


“Abi, masih inget waktu Zahdan dulu jatuh di jalan?” tanya anak kecil berponi.

“Masih inget waktu Zahdan pilih sekolahan?” lanjutnya.

Aku pun mengangguk sambil tersenyum.

“Iya, kan ceritanya juga ada di buku Ragam Ceria Bersama Zahdan” jawabku.

Zahdan langsung terkekeh. Meski saat ini belum bisa membaca sendiri, Ia bangga bahwa peristiwa perihalnya itu dijadikan tulisan.


Nak, mungkin kelak di masa depan, Aku tak bisa menjawab tanya kalian sembari tersenyum lagi. Mungkin Aku tak akan mampu menjadikan kalian sebagai tokoh Putri dan Astronot lagi. Meski demikian, semoga kalian yang akan balas tersenyum sembari membaca jawabanku. Kalian yang akan mengingat waktu kecil tersebut saat masih bersamaku. Dan kalian akan bertanya didalam hati, untuk apa Aku menulis semua itu.

Nak, mungkin Ayahmu ini tidaklah secanggih Tere Liye. Dan Abimu ini juga tak sehebat Habiburrahman el Shirazy. Buku yang kutulis tiada terpajang di toko Gramedia, cerita yang kureka tak banyak diserbu pembaca. Jadi jangan tanya perihal royalti dan tanda tangan.

Tidak.. tidak.., Aku hanyalah seorang Abi. Iya, seorang Abi yang selalu berbahagia saat menulis tentang kalian.


Adalah sebuah keajaiban jemari ini lagi-lagi menari menyusun aksara. Pun berupaya hanya tersenyum ketika seseorang berkata, “buat Aku gratis ya!”.

No comments:

Post a Comment