Aku setengah berlari ke arah sekolah ziya. Jam di hp sudah
menunjukkan angka 12:10 wib. 'terlambat..' gumamku. Ziya pasti sudah
menungguiku dari 10 menit yang lalu. Ini gara2 aku bangun kesiangan di rumah
tadi. Memang, sepulang kerja shift malam tadi pagi, aku langsung mengantar ziya
dan umminya ke sekolah masing2. Menunggui ziya sebentar di sekolah sambil
menahan kantuk, lalu pulang dan bersegera melempar badanku ke atas kasur. Agar
jam stengah 12 nanti aku bisa bangun kembali dan menjemput ziya di sekolah.
Sialnya, aku terlalu pulas hingga bangun kesiangan. Melihat jam di layar hp
membuatku seperti tersambar petir. Bergegas.. Menstarter mobil, lalu
membiarkannya tetap menyala sementara aku mencuci muka, dan meminum obat sakit
kepala andalanku. Kurang tidur memang kerap mebuat kepalaku terasa sakit. Tapi
ini bukan saatnya mengingat masalah bahayanya obat2an medis. Ziya kecilku kini
tengah cemas menungguiku di sekolah. Sebelum mengunci pintu rumah, aku masih
sempat menyambar beberapa potong kue dan melahapnya, menjawab gerutu perutku
yang sedari pagi belum diberi apapun. Lekas masuk kedalam mobil, membanting
pintu, lalu tancap gas..
Benar saja, setiba di sekolah, terlihat ziya
menyandarkan punggungnya di gerbang sekolah, wajahnya lusuh, sepertinya ia
sudah cukup lama berada disitu. Melihat kedatanganku yang tergopoh-gopoh, ziya
kecil menyambutku dingin. Ia berjalan malas menghampiri. “abi ko lama sih? Zia udah dari tadi nungguin” ucapnya. “iya, maafin abi ya, tadi abi bangunnya
kesiangan, jadi telat deh kesininya. Maaf ya nak..” jawabku. Ziya
mengangguk malas.
Siang ini ziya entah kenapa tidak mampir di pedagang mainan seperti
biasanya. Bahkan warung Mang Lili pun ia lewati begitu saja. Padahal biasanya
ia seringkali berhenti, menarik-narik tanganku, lalu menunjuk indomilk kids
rasa coklat, atau chiki berhadiah mainan yang terlihat jelas digantung di
warung tersebut. Entahlah, mungkin saja ia masih merasa sebal karena terlambat dijemput, atau mungkin juga teringat ketika dua hari kemarin
kumarahi. Pasalnya ziya yang sedang bermain boneka Barbie, menolak saat disuruh
shalat maghrib. Ya, meski akhirnya ziya shalat sembari cemberut dan menangis,
juga meski aku sudah minta maaf dan ziya mengangguk memaafkanku, mungkin saja
ziya masih mengingat kejadian tersebut, sehingga moodnya “tenggelam”, tidak
riang, dan..."dingin". (he..).
Begitupun di perjalanan, ziya tak bernyanyi-nyanyi,
ia hanya terdiam membisu.
Setiba di rumah, pintu rumah masihlah terkunci, sambil
menanti pintu kubukakan, ziya tiba-tiba saja berkata pelan “Abi..” ujar ziya. Aku langsung menyahut “ya, kenapa nak..?” tanyaku. “Mm.. Kenapa sih abi kalo marah sama ziya trus
suka minta maaf..?” tanyanya. Oh, jadi ini toh yang difikirkannya sejak
tadi. Aku berfikir sejenak. “Mmm… memangnya
ga boleh?” aku balik bertanya. “Boleeeh,
tapi kenapa, kan marahnya gara-gara ziya nya yang nakal, ga mau nurut sama abi”
ujarnya. “Mm.. gimana ya.. kan biar bisa masuk
ke surga" jawabku, setengah ragu, merasa itu bukanlah jawaban yang
tepat. Namun meski begitu, ziya terlihat sedikit mengangguk “Ooh..”
ujarnya singkat.
Entah mengerti atau tidak, yang pasti beberapa saat setelah pintu rumah terbuka,
ziya tiba-tiba mengulurkan tangan kanannya didepanku, mengajak bersalaman, sambil berkata
“abi maaf ya, tadi ziya udah marah sama
abi, soalnya abi ngejemputnya lama” ucapnya polos, diakhiri dengan
tersenyum. Aduuh, anak kecilku ini,
sudah bisa bersikap bijak mirip orang-orang dewasa. Padahal umurmu 6 tahun pun
belumlah genap. Hmph… “..iya nak.. ga apa-apa”
jawabku singkat, menahan haru.