Hampir setiap kali terdengar turun hujan, Zhira kecil
memasang raut wajah cemas dan takut. Anak itu kerap lantas minta ditemani naik
ke atas tempat tidur, kemudian menutup wajahnya sendiri dengan bantal.
“Gak apa-apa, Zhira! Itu cuma hujan” ucap Umminya, berusaha
menenangkan Zhira.
Yang ditenangkan tak menjawab, tetap saja menutup wajahnya.
Belum lagi jika terdengar juga suara guntur, Zhira akan
semakin gugup. Kedua tangannya memeluk guling erat-erat. Bahkan terkadang,
sambil menangis terisak-isak. Belaian di punggungnya, usapan di kepalanya, tak
jua berhasil mengusir cemas yang melanda.
Semua karena trauma. Dua tahun lalu Zhira pernah melihat
sendiri ketika hujan deras, langit-langit kamar Zahdan tiba-tiba saja rubuh.
Jatuh menimpa kasur, lemari, hingga lantai. Kuyup semua, hancur seisi kamarnya.
Anehnya, sang pemilik kamar justru tak ambil pusing, toh dia memang jarang
sekali tidur disana. Sirkulasi yang pengap acapkali membuat nafas Zahdan terasa
sesak.
Walaupun kamar kakaknya sudah diperbaiki, kejadian itu masih
terus membekas bagi Zhira. Dia selalu terlihat takut ketika hujan.
“Zhira..” panggilku.
Zhira tetap terdiam.
“Hujan mah gak apa-apa. Lihat! Dengan hujan, semua tanaman,
pohon, rumput, jadi bisa minum. Coba kalau kita yang nyiram satu-satu, gak akan
mungkin bisa” nasihatku.
Zhira tak berkomentar, kepalanya masih ditenggelamkan
dibawah bantal. Tak mau dilepas barang sekejap pun. Aku pun mencari cara yang
lain.
“Em.. Zhira memang belum tahu ya, cerita tentang Putri Hujan”
pancingku.
Kepalanya bergeming sedikit. Sepertinya anak ini diam-diam
sedikit tertarik dengan topik yang ini. Baiklah, saatnya otak kanan ini
bekerja.
“Begini.. pada zaman dahulu, ada sebuah kerajaan bernama
kerajaan Hujan. Dipimpin oleh seorang Putri yang cantik kayak Zhira.. sikapnya
juga lembut dan baik hati, sama kayak Zhira. Bedanya, putri tersebut namanya
Putri Hujan. Kerajaan ini hidup aman dan damai, gak suka perang. Walau begitu,
kerajaan Hujan memiliki seorang panglima hebat bernama Panglima Guntur” aku menarik napas
sejenak.
“Suatu ketika, kerajaan Hujan hendak diserang oleh kerajaan
besar bernama kerajaan Duri. Kerajaan yang memiliki pasukan jauh lebih banyak,
dipimpin langsung oleh Raja Duri, raja yang jahat dan kejam. Hei, kerajaan
hujan! Menyerah saja, lalu serahkan kerajaan kalian padaku! Jika tidak, kerajaan
kalian ini akan aku hancurkan! Ancam Raja Duri”
“Panglima Guntur merasa geram dengan ancaman Raja Duri. Meski
kerajaan hujan ini kecil, mereka tak boleh menyerah begitu saja. Maka demi
melindungi kerajaan Hujan, sang panglima Guntur membawa seluruh pasukannya yang
hanya berjumlah 500, untuk menghadang Raja Duri di perbatasan. Bayangkan Zhira,
hanya 500 pasukan. Padahal pasukan Duri, ada 10.000.. eh, bukan.. ada 100.000
pasukan!”
“Apakah, panglima Guntur takut? Jelas tidak! Panglima Guntur
tahu, bahwa waktu zaman Nabi Muhammad pun, seringkali pasukan yang kecil bisa
menang melawan pasukan yang besar. Mereka pun bertakbir, maju dengan gagah
berani. ALLAHU AKBAR! Teriak panglima Guntur, mengobarkan semangat pasukan
hujan!”
“Perang berkecamuk. Pasukan duri memiliki senjata
tombak-tombak panjang seperti duri yang tajam. Tombak itu ditembakkan ke atas,
lalu jatuh menghantam pasukan hujan. 100 pasukan syahid.. Ditembakkan kembali, gugur
lagi 100 pasukan. Panglima Guntur merasa geram. Dia kemudian mengeluarkan
senjatanya, yaitu pedang Halilintar. Yang ketika dihantamkan ke tanah, suara
guntur terdengar menggelegar keras. Serta muncul kilat petir yang menyambar
ratusan pasukan Duri”.
“Bismillah.. ALLAHU AKBAR! WUSS! Panglima Guntur menghantamkan
lagi pedang halilintarnya. DUAR! CTAR..CTAR.. Halilintar kembali menyambar
pasukan duri. Setengah pasukan duri tumbang terkena pedang halilintar. Raja
Duri pun panik. Namun liciknya, Raja Duri memerintahkan sebagian pasukannya
untuk menculik Putri Hujan. Jelas saja, karena semua pasukan dibawa untuk
bertempur, tak ada banyak pengawal di Kerajaan Hujan. Putri Hujan disandera
Raja Hujan”.
“Hei Panglima Guntur! Kau harus melemparkan pedangmu! Jika
tidak, Putri Hujan akan aku bunuh! Kata Raja Duri. Melihat Putri Hujan yang
tertangkap, Panglima pun terpaksa menjatuhkan pedangnya. Lalu bertempur dengan
senjata yang ada. Sayang seribu sayang, tanpa pedang Halilintar, pasukan Hujan mudah
sekali dikalahkan”.
“Putri Hujan yang melihat sendiri pasukannya tumbang satu
persatu, merasa sedih bukan buatan. Putri jatuh berlutut, kemudian menangis menjerit,
menengadah ke arah langit. TIDAAAK! Hentikan perang ini.. Hentikanlah perang
ini! Jangan ada lagi orang yang mati dan terluka! Jeritnya”.
“Tiba-tiba, langit dipenuhi dengan awan hitam
bergulung-gulung. Lalu, BYUUUR! Hujan deras turun begitu lebatnya. Terus turun,
membuat banjir. Menjadikan porak poranda pasukan duri, serta menenggelamkan
Rajanya”.
“Nah, sejak saat itu, kerajaan Hujan diangkat ke langit.
Berdiri kokoh diantara gumpalan awan-awan. Termasuk Putri Hujan dan Panglima
Guntur, keduanya berada di Istana Hujan. Konon katanya, Hujan yang turun ke
bumi saat ini, adalah tangisan Putri Hujan, yang teringat dengan kejadian
perang waktu dulu. Sedangkan suara guntur dan petir yang Zhira dengar, adalah
dari pedang halilintarnya panglima Guntur, untuk menghalau duri yang dilemparkan
ke langit oleh sisa-sisa pasukan duri”.
***
Cerita selesai, tampak Zhira kecil yang kepalanya tak lagi
tenggelam dibawah bantal, melainkan justru terduduk, menatapku dengan kedua
mata berbinar.
“Abi, Putri hujan teh beneran?” tanyanya, penasaran.
Sambil tersenyum, aku malah balik bertanya, “menurut Zhira,
gimana?”.
Zhira tak menjawab, kepalanya menoleh ke arah jendela.
Melihat rintik-rintik hujan, yang turun lembut menyirami tanaman diluar.
“Abi, Zhira jadi ingin jas hujan! Zhira ingin hujan-hujanan
diluar!” katanya, bersemangat.
“He.. Iya-iya. Insya Allah nanti abi belikan ya..” jawabku,
sembari mengelus kepala Zhira.
#mazhiramutsbitamumtazahathfi