14/05/2021

Berbongkah-bongkah

Berbongkah-bongkah terhimpun di atas sajadah, kami memandanginya dengan pandangan yang teramat lelah.

Betapa tidak? Malam kemarin kami sudah diserang habis-habisan oleh sepasukan berseragam. Mereka yang melontarkan gas air mata, menembak membabi buta, menyeret dan memukuli kami dengan kasarnya.
 
Barisan mereka datang di malam buta, bergerombol tanpa permisi. Sepatu kotor mereka menginjak-injak tempat suci, tempat kami bersujud khusyu meletakkan dahi.
 
Tak cukup, moncong senapan mereka bergerak beringas, menghajar kami yang tengah beritikaf.
Aku heran, apa sebenarnya salah kami?
...
 
Dan kini, malam sudah semakin larut, tetapi langit temaram tak menghamparkan sejuk. Alih-alih demikian, kilatan cahaya merah dilontarkan disana-sini. Memicu ledakan di berbagai sudut bangunan bersejarah. Peluru-peluru dimuntahkan, jerit teriakan kesakitan, lantai memerah bercampur darah.
 
Tak hendak berhenti, malam ini pasukan berseragam merangsek masuk kembali, melindungi diri dengan tameng transparan. Mereka dilengkapi helm tertutup, senjata lengkap, seragam berlapis.
Begitu curang melawan kami, yang hanya mengenakan kaos oblong dan peci rajut alakadarnya. Kaca-kaca dan pintu dipecahkan, para pengecut berteriak mengancam dengan menodongkan senapan.
 
Lagi-lagi aku heran, apa sesungguhnya salah kami?
...
 
Lihat! Orang-orang tua yang tengah shalat, langsung tersungkur dihajar mereka. Para perempuan diikat kaki dan tangannya. Sedangkan anak-anak, menangis merasakan pedih luka di tubuhnya. Mereka membutuhkan petugas medis secepatnya.
 
Sayangnya, ambulan tak bisa datang. Para petugasnya diancam, kunci kendaraannya dirampas. Pasukan tak berhati itu telah menempuh cara-cara tak terpuji untuk memenangkan perang.
...
 
ZING! ZING!
 
Rentetan peluru terdengar berdesing melubangi dinding.
Menggunakan sisa-sisa tenaga, aku membalas mereka dengan sebongkah batu sebesar kepalan. Dengan mengucap takbir, bongkahan itu kulesatkan ke udara. Tinggi menukik di angkasa.
 
“Bismillaaah... ALLAHU AKBAR!” pekikku.
 
Batu melesat diatas garis ufuk. Ribuan malaikat berebut untuk menyambut, membuat bongkahan tersebut menjadi seberat gunung uhud.
 
Lihat saja! Dibanding uhud, tameng tipis itu tak akan ada apa-apanya. Pelindung mereka ibarat kertas yang rapuh, serapuh hati dan jiwa-jiwa mereka. Dibawah sayap malaikat, peluru-peluru itu kan serona butiran debu yang berhamburan tiada artinya.
 
“ALLAHU AKBAR!”
 
Takbir berikutnya, mengiringi lemparan kedua. Bongkahan batu melesat ke udara, lalu tajam menukik di angkasa.
 
Giliran jutaan ababil yang menyambar, membuat bongkahannya menyala seperti bara. Panasnya seperti lava, apinya seperti neraka. Bongkahan itu lalu keras berjatuhan melubangi mereka.
 
Pasukan berseragam pun tumbang, tak beda dengan dedaunan yang oleh ulat dijadikan santapan.

No comments:

Post a Comment