“Astaghfirullaah…
Tenaaang.. tenaang..” Ziya berkata pelan pada diri sendiri.
Setelah
berulang kali melemparkan pandangan keluar jendela, berulang kali pula bertanya
padaku sudah jam berapa. Boleh jadi, Ziya merasa menit demi menit bergeser terlalu
cepat. Dan Ia berkeinginan kuat untuk menjadikan detiknya berjalan melambat. Sesuatu
yang di dunia nyata ini tak mungkin diperbuat.
“Jam
berapa, Abi?” tanya Ziya, dengan gugup yang kian kentara.
“Jam
9 kurang lima belas. Masih ada waktu sekitar lima belas menit lagi” jawabku.
Ziya
mengusap wajahnya yang terasa kebas. Ia berusaha menarik nafas dan menghembuskannya
dengan teratur. Hmft… Fuuuh.. Hmft… Fuuuh…
Melihatnya
demikian, Aku jadi ikut-ikutan gugup. Apa Ziya bisa? Apa Ziya mampu? Apa saja
yang akan Ia paparkan disana? Meski jelas-jelas seorang guru favoritnya yang mendampingi,
tetap saja ada secuil khawatir yang mendera hati.
Ya,
hari ini Ziya diundang menjadi tamu di sebuah Sekolah Dasar, SD Pelangi namanya.
Semua berkaitan dengan bulan Bahasa dan Sastra yang tengah mereka
selenggarakan. Ziya bahkan diminta pula membawa buku ‘Hilma yang Amanah’, antologi
dimana cerpen Ziya menjadi salah satu yang dimuat didalamnya.
Ini
adalah pertama kalinya Ziya berbicara terkait literasi, sesuatu yang biasanya
Ia jalani bukan dengan berteori, melainkan murni sebagai hobi. Tak heran jika
Ziya menjadi gugup, betapapun Aku berkali-kali berkata ‘tenang saja’.
Terlebih,
bagi kami kaum ‘introvert’, tampil di muka umum adalah satu kesulitan
tersendiri. Tampil seperti itu membutuhkan energi yang lebih besar lagi. Rasa-rasanya,
lebih baik menulis sekian puluh halaman, ketimbang berbicara kurang dari setengah
jam.
Lima
menit sebelum dimulai, Aku tergopoh-gopoh membelikan sekotak susu coklat
kesukaan Ziya. Berharap setelah meminumnya, Ia akan lebih merasa santai.
Hingga
tak lama kemudian, Ziya melenggang pergi. Disambut masuk di kelas itu seorang
diri. Meninggalkanku yang gemetar dan sibuk berkata pada diri. ‘Astaghfirullaah..
Tenaaang.. tenaaaang’.
…
“Abi,
yang ini boleh dipajang di dinding ya?” pinta Ziya, dengan wajah yang lega dan
tersenyum begitu bangga.
Ia
berkata demikian sembari menyodorkan sebuah penghargaan berbingkai. Penghargaan
yang bertuliskan nama lengkap Ziya diatasnya.
Akupun
mengangguk, lalu mengambil palu dan sebuah paku. Memasangkannya, hampir bersisian
dengan piala lomba mewarnainya bertahun yang lalu. Untuk sesaat, Aku menatapnya
penuh haru.
Duh,
anak pertamaku itu sudah mulai beranjak remaja. Ia sudah bersiap menorehkan sendiri
prestasi-prestasinya. Melesat tinggi, meraih apa yang selama ini dibatasi
mimpi. Membuatku harus berkata untuk ke sekian kali,
‘Ziya,
Kau pasti bisa menjadi lebih hebat lagi. Kau pasti bisa meraih apa yang kau
ingini. Kau kan bisa terus berprestasi, jauh tinggi melampaui Abi. I'm very proud of You..!
’