Gerimis menghujani bumi sedari sore tadi. Semakin malam,
butiran-butirannya semakin deras berjatuhan. Serona langit tengah
dirundung sedih yang berkepanjangan, entah karena merasa kesepian, entah
pula lantaran kehilangan. Dua hal itu memang selalu saja melangitkan
sendu, mengundang awan-awan kecemasan, serta mengkotak-kotakan
kesendirian.
Sesiapa saja yang tengah merasakan, segenap jiwanya
akan berubah dingin memilukan, segumpal hatinya akan membeku begitu
kaku, dan ingatannya tak pernah berhenti mengadu ke masa lalu. Sesuatu
yang kebanyakan orang tak pernah paham akan hal itu.
***
***
Zhira kecil terbangun karena popoknya basah. Ia memanggil dan memberi
tahu, dengan bahasa bayi yang untuk memahaminya membutuhkan waktu.
“Kenapa Nak?” tanyaku.
“Aku merasa dingin Abi” jawabnya.
“Baiklah, Abi selimuti ya. Mau yang warna pink atau warna biru?” tanyaku lagi.
Zhira menggeleng.
“Pakai kain pernel?” ucapku.
Zhira menggeleng lagi.
“Em.. Mau dihangatkan dengan lampu sorot?” ucapku lagi.
“Bukan Abi, Aku merasa dingin karena hal yang lain” kata Zhira.
“Ooh.. popokmu basah ya? Kalau begitu tunggu sebentar, Abi ganti dengan yang kering ya..” kataku.
“Hehe.. Iya, terima kasih ya Abi” jawab Zhira.
Aku mengangguk, berbalik menuju lemari pakaian Zhira, kemudian bergegas
kembali dengan membawa sebuah popok dan celana panjang kecil, yang baru
juga kusetrika sejam yang lalu.
***
***
Waktu sudah menunjuk
angka sepuluh lewat lima, tapi hujan tak memelan barang sebentar saja.
Ia kian memberondong bumi dengan irama yang sama. Sekali dua diiringi
suara guntur di kejauhan sana.
Zhira menatap wajahku dengan
tatapan sayu. Kedua matanya mengerjap-ngerjap seolah menunggu sesuatu.
Aku balas menatapnya, lalu tersenyum mengerti.
“Senandung hujan lagi Nak?” tanyaku.
Zhira mengangguk sembari tersenyum kecil. Itu adalah lagu yang selalu
kusenandungkan setiap kali Zhira hendak terlelap. Sembari
mengayun-ayunkannya lembut dalam gendongan, serta diiringi irama tetesan
hujan diluar rumah, Aku bercerita banyak hal melalui senandung hujan.
Aku membukanya dengan sebuah kisah tentang tulip yang dikunjungi hujan
berulang-ulang. Melulu didatangi hujan setiap hari. Namun ternyata,
dalam setahun kelopaknya berkembang hanyalah sekali.
Sungguh, jika hujan memiliki hati, sedalam apakah rasa yang Ia miliki.
Aku berkisah pula perihal bintang. Sebuah cerita yang tak seindah
gemerlap kerlipnya di waktu malam. Ia harus membakar dirinya sendiri
agar bisa bersinar terang, dan melewatkan masa puluhan jam agar langit
sudi membiarkannya terperlihatkan.
Sayang, saat waktu itu
datang, manusia-manusia ternyata lebih memilih untuk terpejam. Tak tahu
betapa bintang sangat menanti secuil tanggapan. Secuil saja, itu akan
sangat berarti baginya.
Namun lantaran tak pernah ada, perlahan bintangpun memudar dan menghilang.. kemudian tak lama turunlah hujan.
Mata Zhira mengerjap-ngerjap, alisnya berkerut. Aku menggeleng sambil tersenyum.
“Tidak Nak.. Hujan di waktu malam bukanlah air mata kesedihan sang
bintang. Sejatinya bintang tak pernah sekalipun menangis. Ia hanya
berusaha bertahan dalam kesepian. Mati-matian bertahan dalam
kesendirian. Itu saja..” terangku pada Zhira, kutahu Ia hendak
menyanggah, ingin menanyakan arti gerimis di luar sana.
Cerita
berlanjut pada drama bulan yang disandera. Langit menyembunyikan
keberadaannya dibelakang bayangan bulat menghitam. Orang bilang gerhana,
namun kubilang langit hanya tak terima, Ia tak mau bulan melulu
menyakiti sang pungguk dalam kerinduan. Dan langit juga tak ingin
cahayanya melenakan para pekerja siang ketika nanti membanting tulang.
Ia tak sadar, jika bulan disembunyikan, maka laut tak akan pernah
tinggal diam. Laut akan sedemikian rupa berontak, marah bergulung-gulung
menghajar karang. Menyanyikan sebuah lagu seram yang terbilang jarang
sekali diperdengarkan.
Laut teramat tahu, bahwa pungguk justru akan lebih tersakiti jika harus menghabiskan malam tanpa cahaya rembulan.
Laut begitu paham, bahwa pekerja siang tak akan pernah punya impian, jika harus terlelap justru dalam pekatnya malam.
Zhira lagi-lagi hendak menyanggah, menanyakan keterkaitan dengan
senandung hujan. Aku tersenyum, lalu tak lama memberi jawaban..
“Justru itu Nak, salah satu yang bisa menenangkan amarah laut, adalah..
Senandung Hujan. Memberi bayangan kawan dalam kesepian, pun memberi
harapan tatkala tengah kehilangan. Mungkin saat ini Kau belum bisa
mengerti, namun kelak.. Ketika Kau sedikit lebih dewasa dari sekarang.
Saat Kau mulai mengalami nyeri dan pedihnya cobaan kehidupan. Saat Kau
mulai mendapati sakitnya sebuah kehilangan. Maka saat itulah Kau akan
menemukan irama Senandung Hujan”
Zhira kecil mengangguk takjub, lalu kedua matanya terpejam, beranjak terlelap dalam dunia lain bernama impian.