Aku tahu.. Bahwa hanya masalah waktu. Dua karakter yang
berbeda itu akan beradu. Ziya dengan introvertnya, dan Zahdan dengan
ekstrovertnya. Sementara Aku.. Mati-matian berusaha berimbang menengahinya.
Hari itu adalah momen yang penting bagi Ziya, Lomba Mewarnai.
Ziya diminta mewakili kelasnya untuk mengikuti Lomba Mewarnai di sebuah lembaga
pelatihan Bahasa Inggris. Yang dilihat bukan hanya kemampuan mewarnainya, namun
juga kemampuan bahasanya. Sepertinya, Ziya termasuk dalam kategori yang bisa
mewadahi dua hal penilaian tersebut. Ziya terlihat bangga sekali mendengarnya,
bercerita sana sini, berkata teknik itu ini. Sepertinya Ia tak kapok meski
berpuluh kali tak jua menang di pentas lomba semacam itu.
Ketika diminta menjadi perwakilan kelas seminggu yang lalu,
Ziya ngotot minta dibelikan Crayon baru. Sebabnya Crayon yang lama sudah banyak
sekali yang patah. Itu juga katanya, Aku tak pernah tahu karena Crayon lama
Ziya simpan di sekolahnya. Meski dompetku sudah kian menipis, Aku tak bisa
menolak permintaan Ziya. Apalagi saat Ziya berkata membujukku, “ya abi ya?
Please atuh, please..!!” ujarnya, dua bola mata bening menggemaskannya
menatapku lekat penuh harap. Entah siapa yang mengajarinya demikian. Yang pasti,
jurusnya itu sempurna membuatku mengangguk mengiyakan, sembari menghela nafas
panjang, bimbang.. akankah isi dompet ini bertahan hingga tiba waktu gajian.
Jadilah Kami berangkat ke toko buku waktu itu. Bertiga
tentunya, Aku, Ziya, dan Zahdan. Sayang, hanya sesaat sebelum Kami tiba di toko
buku, Zahdan tertidur begitu saja di jok belakang. Jam tidur siangnya sudah
terlewat setengah jam. Alhasil, Kepala Zahdan terantuk-antuk dinina bobokan
oleh hembusan sepoi angin dari sela jendela yang sedikit terbuka. Dan hanya
sesaat setelah kepalanya menyentuh bantal kecil yang sengaja kubawa, Zahdan
terlelap hanya dalam hitungan jari sebelah tangan saja.
“Ziya, beli Crayonnya sendiri saja ya? Abi tunggu di depan
toko. Kan Abi harus sambil liatin Zahdan, khawatir bangun, trus nangis karena
ditinggal sendiri. Ziya berani?” tanyaku, sembari memarkir kendaraan tepat di
depan toko buku. Ziya mengangguk mantap, tak ada ragu sedikitpun di wajahnya.
Ia sudah belajar membeli keperluan sendiri. Bahkan sudah bisa diandalkan ketika
diminta ke warung membelikan nasi kuning untuk sarapan, dan beberapa pampers
untuk Zahdan yang sedang dimandikan. “Tunggu Ziya..!” panggilku. Ziya menoleh,
aku langsung member selembar uang padanya, “ini uangnya. Memang Ziya mau beli
Crayon pake apa? Pake daun?” candaku, terkekeh. Ziya menepuk jidatnya, “he.. iya..Ziya
lupa. Mungkin Ziya kena Alzheimer kayak Abi..” jawabnya sembari tertawa. Tak
lama setelah menerima uang dariku, Ia langsung berlari masuk ke toko buku
dengan semangatnya. Hmph..Alzheimer. Itu kata yang sering Ziya lontarkan padaku
saat Aku terlupa akan sesuatu. “Abi kena Alzheimer!!” katanya, sembari tertawa.
Film Beautiful Rain yang kami tonton dulu itu ternyata melekat kuat dalam
ingatannya.
Awan di langit berubah kelabu, rintik hujan membumi satu per
satu, Aku menatapnya sendu.
“Ziya, cepetan! Udah mau hujan!” teriakku pada ziya di dalam
toko buku. Ziya menyembul dari balik rak, berlari mendekat. “Abi, ini harganya
segini!” ujar ziya, menunjukkan bandrol harga yang tertera diatas wadah Crayon
di tangan kanannya. Aku mengerti, tanpa basa basi segera mengeluarkan uang
tambahan. Ziya menerimanya, dan cepat berlari ke arah kasir. Hendak membayar
Crayon pilihannya itu. Aku memasukan kembali dompet yang semakin tipis tersebut
ke saku belakang celanaku, lalu kembali menghela nafas, lebih panjang.. lebih
bimbang.
Tak lama, Ziya sudah berada di sampingku lagi. Kali ini
sembari menenteng sebuah keresek di tangan kirinya. Wajahnya terlihat
sumringah, senang setelah mendapat satu set Crayon baru. Aku menatapnya datar.
“Apa?” tanya Ziya, heran. Aku masih diam, tak menjawab. Ziya mengernyit sesaat,
lalu tertawa. “Oh iya.. Hehe.. Ini, kembaliannya ada didalem keresek” ujarnya,
mengerti. Aku ikut terkekeh, lalu mengambil uang kembalian yang ada dalam
keresek yang Ziya pegang. “Masih cukup” bisikku, sembari melirik ke arah
kendaraan, Zahdan tampaknya masih terlelap disana. “Ziya, jagain dulu zahdan
ya! Abi mau beliin dulu lego buat Zahdan. Nanti khawatir sedih lihat Ziya
dibeliin sesuatu tapi Zahdan enggak” ucapku. Ziya mengangguk mengiyakan, lalu
melangkah santai hendak menjagai adiknya itu. Ziya yang sekarang memang lebih
bisa diandalkan. Sekilas, memang tak tampak ada masalah pada keduanya. Sampai
pada hari Lomba itu tiba.
Ruangan lomba sudah lumayan penuh oleh anak-anak dan para
orang tuanya. Ziya melihat kanan kiri, tak ada teman satu sekolahnya disana.
Seharusnya ada perwakilan kelas lain dari sekolahnya yang ikut hadir meramaikan
lomba. Yang ada adalah belasan anak lain yang tak satupun Ia kenal. Wajahnya
mulai terlihat tegang. Tangan kecilnya memegang jariku erat, tak mau lepas,
seolah ingin bersembunyi saja. Sebaliknya, Zahdan malah tampak girang. Berlari
kesana kemari, tak acuh pada keramaian di sekelilingnya, tak peduli pada
orang-orang yang memperhatikannya. Aku sampai harus memeganginya agar tak
hilang ditelan hiruk pikuknya peserta lomba.
“Ziya !” panggilku, sesaat setelah mendudukannya di sebuah
bangku kosong di tengah ruangan. Ziya tak sedikitpun menoleh, raut mukanya
masih terlihat cemas, matanya melirik ke orang-orang di sekelilingnya, termasuk
ke arah Zahdan yang tak bisa diam. “Maziya !” panggilku lagi, kali ini sembari
menyentuh punggungnya. Ziya menoleh, menatap ke arahku tanpa menjawab. “Ziya
tahu? Anak-anak yang ada di ruangan ini adalah anak-anak hebat semua. Anak-anak
yang jadi perwakilan kelasnya masing-masing. Dan Ziya bisa duduk disini,
artinya Ziya juga hebat. Ga usah peduli sama juara atau piala. Ziya mau ikutan
lomba, itu tandanya Ziya udah jadi Juara. Kalopun Ziya ga dapet piala, nanti
Insya Allah abi yang kasih Ziya hadiah. Sekarang mah mewarnai aja kayak Ziya
biasa mewarnai di rumah. Cuma berusaha supaya lebih rapih. Dengerin apa kata
bapa nanti tentang warna-warnanya, terus dibagian mana saja warnanya itu
dikasih. Ngerti?” paparku, diakhiri dengan tanya. Ziya mengangguk pelan, ada
ragu dibalik anggukannya.
“Ya sudah, Ziya mau minum dulu? Abi ambilkan botol minumnya
sebentar ya” kataku, sembari melangkah ke belakang, hendak mengambilkan air
minum di belakang kursi yang Ziya duduki. Saat itulah, Zahdan yang berputar kesana
kemari ikut mendekat. Ia tertawa-tawa, seolah tak acuh dengan apa yang
dirasakan oleh kakaknya. Ziya menoleh, tangannya dengan cepat terulur, menutup
mulut Zahdan dengan kasar. Ia tak suka dengan sikap Zahdan yang mengundang
perhatian, Ia tak mau orang-orang di sekitarnya ini menatap kearahnya dan
Zahdan. Sayang, Zahdan tak mengerti, Ia tersentak kaget, wajahnya sedikit
tersakiti oleh gerakan tangan Ziya yang kasar. Aku refleks memegang tangan
Ziya, lalu mengibaskannya. “Ziya!! Ga boleh gitu! Zahdan mah masih kecil, belum
ngerti”kataku, sehalus mungkin. Tak ingin orang-orang sekitar menyadari sikap
Ziya barusan. Perasaanku sedikit kecewa melihat reaksi Ziya pada Zahdan. Ziya
menatapku takut. Aku lalu memberinya botol air minum yang tutupnya sudah
terbuka. “Nih, Ziya minum dulu!” ujarku. Ziya lalu meminumnya, hanya sedikit.
Matanya masih melirik Zahdan sesekali. Aku menghela nafas, bimbang. Kali ini
bukan karena isi dompet yang berkurang, melainkan karena keadaan. Benturan dua
sifat anakku yang bertolak belakang. Zahdan yang suka sekali menjadi perhatian.
Dan Ziya yang merasa nyaman dalam persembunyian.
Tak lama, dua orang anak berseragam yang sama dengan Ziya,
datang masuk ke ruangan. Aku mengenalinya sebagai teman sekelas Ziya waktu
kelas dua. “Tuh, temen Ziya udah kesini.
Abi sama Zahdan tunggu di luar ya?” kataku, Ziya tak menyahut. Aku lalu
mengelus kepala Ziya lembut, “jangan lupa Bismillah dulu” kataku lagi, berusaha
untuk tersenyum. Ziya menatapku, lalu mengangguk pelan.
Aku berbalik, menggamit tangan Zahdan, menuntunnya keluar
ruangan lomba. “Ayo Zahdan, kita tunggunya diluar!” ajakku pada Zahdan. Zahdan
menurut, terlihat bersemangat. “Abbiih.. Jadan mau beli apa coba? Mau beli
To..?” ocehnya. Aku tertawa, anak ini pasti minta dibelikan lagi mainan kereta
Thomas di mini market. “To.. Mmm.. Topi?” jawabku. Zahdan menggeleng keras, “Aduuuh..
bukan Abi! Tapi beli To…?” tanyanya lagi. Aku menjawab, “ooh.. Tongkat”
candaku. Zahdan kembali menggeleng, kali ini sembari menepuk jidatnya,
meniruku. “Aduuh.. Bukaaan!! Jadan mau beli To.. Tomas!! Itu. Ya? Abi Ya??”
celoteh Zahdan, membujukku. Dua bola matanya menatapku penuh harap. Padahal
rasanya baru kemarin-kemarin Zahdan dibelikan lego. Dan koleksi Thomasnya sudah
menumpuk di rumah. Tapi demi melihat dua bola matanya yang bening, Aku
mengangguk mengiyakan. Mengundang teriakan Zahdan yang kegirangan. “Yeeeiiy..
Asyiik.. Jadan belum punya yang Timoti.. Gordon juga belum ada. Trus Rineas,
Oliver, sama Berty…” paparnya panjang lebar. Mendengarnya, Aku menghela nafas
entah untuk yang keberapa kalinya. Kembali berharap keajaiban datang, siapa
tahu hari gajian tiba-tiba saja mendadak dimajukan. Aamiin.. He..