Namaku Fachri, seorang santri.
Bukan kawan.. Aku bukanlah
Fahri tokohnya Habiburahman el Shirazy. Fahri yang telah dipertemukan
dengan bidadari bernama Aisha, lalu mengukir cerita dalam ayat-ayat
cinta. Fahri yang berbuat kebaikan dengan segala apa yang dimilikinya.
Ilmu, maupun harta. Semuanya Ia kerahkan untuk kebaikan semata.
Sedang Aku? Aku hanyalah seorang remaja biasa, sama selayaknya
remaja-remaja pada umumnya. Bedanya, Aku tak tinggal tinggal di rumah
dan bermanja-manja. Aku tak bisa menghabiskan waktu dengan nge-game
seharian. Apalagi nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan balapan. Masa
mudaku hanya sekali, sayang rasanya jika dihabiskan hanya untuk hal-hal
seperti itu.
Sejak setahun ke belakang, Aku didaftarkan ibu
untuk tinggal di pesantren.. mondok. Mempelajari ilmu-ilmu agama,
menghafal ayat demi ayat Al-Qur’an di luar kepala, untuk kemudian
belajar menyelami setiap isi kandungan dan maknanya. Siapa tahu kelak,
Aku bisa memakaikan mahkota bagi kedua orang tua tercinta. Sebuah
prestasi tertinggi dari kejuaraan apapun di muka bumi.
Hari itu,
adalah hari santri. Kami berkumpul bersama kawan santri dari
pesantren-pesantren yang lain. Bahagia rasanya, menyaksikan kumpulan
remaja para penuntut ilmu agama. Aku bahkan berkenalan dengan satu dua
diantaranya. Teduh menyelimuti setiap pandangan mata mereka. Cerah
menghias setiap inci dari wajah mereka. Wajah-wajah yang bercahaya
karena senantiasa dibasuh air wudhu. Kening-kening surga yang tak pernah
melewatkan sujud di sepertiga malam terakhir. Kalimat-kalimat dzikir
meluncur takzim dari setiap percakapan kami.
ALLAHU AKBAR!!
Takbir menggelora, bergemuruh didalam dada. Disambut seluruh santri dengan teriakan semangat yang tak kalah membahana. Kesemuanya membuat sengatan matahari siang seolah tak ada apa-apanya. Gegap gempita merasuk kedalam relung setiap jiwa.
Takbir menggelora, bergemuruh didalam dada. Disambut seluruh santri dengan teriakan semangat yang tak kalah membahana. Kesemuanya membuat sengatan matahari siang seolah tak ada apa-apanya. Gegap gempita merasuk kedalam relung setiap jiwa.
Seorang santri bahkan sampai
mengibarkan panji Rasulullah SAW, saking semangatnya. Lupa bahwa panitia
sempat memberi berita, bahwa yang boleh dikibarkan hanya bendera
negara.
Alhasil panitia terpaksa menegurnya. Dengan sebuah
senyuman sembari bersalaman, santri tersebut diberitahu dengan
baik-baik. Yang diberitahu ikut tersenyum, kemudian mengangguk tanda
mengerti.
Sayang, beberapa orang berseragam tiba-tiba datang
mendekat. Mereka menyita panji tersebut, untuk kemudian dibawa begitu
saja. Membuat sebagian besar panitia hanya melongo tanpa bisa melawan.
Di bagian lain lapangan, orang-orang berseragam itu berkumpul dan
menyalakan api, hendak membakar panji tersebut. Beberapa lainnya bahkan
terdengar semangat bernyanyi.
Dari kejauhan Aku terhenyak, memandangi mereka dengan tatapan tak percaya.
Tidakkah mereka bisa membaca, kalimat Lailahaillallah yang tersemat
diatasnya? Kalimat suci yang memposisikan secara tegas iman seseorang.
Kalimat yang dipertahankan kita selaku muslim, bahkan melebihi dari
nyawa kita sendiri. Kalimat yang para sahabat Rasul mati-matian
menjaganya agar tak sampai jatuh ke atas tanah, bahkan hingga putus
kedua tangannya, serta syahid menjemputnya.
Lalu kenapa
orang-orang berseragam itu malah hendak membakarnya? Apa yang mereka
fikirkan sebenarnya? Bukankah mereka.. muslim juga?
Api mulai berhasil membakar ujung panji, Aku menatapnya dengan teramat jeri.
Sesenti..
Dua senti..
Hatiku tak tahan lagi.
Aku langsung berlari sekencang-kencangnya, kemudian melompat menyambar panji itu dari tangan mereka. Gantian, giliran mereka yang terhenyak. Tak percaya dengan apa yang kulakukan.
Aku langsung berlari sekencang-kencangnya, kemudian melompat menyambar panji itu dari tangan mereka. Gantian, giliran mereka yang terhenyak. Tak percaya dengan apa yang kulakukan.
BUKK..
Aku terjatuh sembari memeluk panji tersebut. Nyala apinya kupadamkan dengan kedua tanganku sendiri.
Aku terjatuh sembari memeluk panji tersebut. Nyala apinya kupadamkan dengan kedua tanganku sendiri.
Panas memang, rasa pedih seketika mendera kulit telapak tanganku.
Sshh..
Biar..
Biar saja tangan ini melepuh. Dan biar saja sekalipun tubuh ini
terbakar. Asalkan kalimat suci dalam panji tak sampai ternodai. Aku tak
akan rela.. Sedikitpun tak rela orang-orang itu menghinakannya.
Beruntung, tanganku ternyata baik-baik saja. Tak nampak ada luka walau
sucuil saja. Dan yang lebih penting, panji itu tak jadi terbakar. Hanya
menghanguskan ujung dan sedikit bagian tulisan didalamnya. Aku
membisikkan Hamdallah pelan.
Aku tak sadar, jika perbuatanku
barusan membuat orang-orang dibelakangku menjadi geram. Kesal karena
tindakannya tadi berhasil digagalkan. Maka tak ayal, seorang yang semula
memegang korek api, menjulurkan tangan kekarnya ke arah leherku, hendak
mencekik dan menyeretku. Sedang tangan lainnya berusaha merebut panji
itu dari tanganku.
Aku tak membiarkannya. Panji itu tetap kupeluk
erat-erat. Aku tahu badanku kecil, tenagaku pun berbeda jauh dengan
mereka yang fisiknya terlatih. Tapi Aku tak akan menyerah.
Biar..
Lagi-lagi biar..
Biar badanku remuk sekalipun, tulang-tulangku patah sekalipun, Aku tak
akan melepaskan panji ini. Jika mereka “keukeuh” ingin membakarnya,
bakar saja bersama ragaku.
Cengkraman tangan besar itu semakin kuat. Membuat leherku terasa sakit, Aku mulai kesulitan bernafas.
EKH.. A..Allah… bisikku, memohon pertolonganNya.
Hanya sedetik setelah itu, tiba-tiba saja cengkeraman tangan itu menjadi longgar. Aku cepat-cepat meloncat dan berbalik.
Tampak olehku, orang berseragam yang semula mencekikku, berdiri terpaku dengan mulut terperangah.
“A..A… Apa..i..ini?” ucapnya, tergagap.
Ia menatap dengan lengannya sendiri dengan kedua mata nanar. Karena dalam waktu sepersekian detik, dua buah lubang seukuran bola pingpong, tiba-tiba saja terlihat menganga disana. Satu dekat pergelangan tangan, dan satu lagi berjarak dua senti dari sendi siku.
Ia menatap dengan lengannya sendiri dengan kedua mata nanar. Karena dalam waktu sepersekian detik, dua buah lubang seukuran bola pingpong, tiba-tiba saja terlihat menganga disana. Satu dekat pergelangan tangan, dan satu lagi berjarak dua senti dari sendi siku.
Yang tak kalah
aneh, sekeliling lubang lukanya tampak menghitam hangus, seolah telah
ditembus sesuatu yang teramat panas. Daging dan ototnya terkoyak, bak
dedaunan yang dimakan ulat.
“AAAAAKKH….!!” Jerit orang berseragam, merasakan sakit.
Disusul jeritan sama dari orang berseragam yang lain, dengan luka menganga yang serupa. Membuat kawan-kawannya yang tak terluka sontak berlarian mencari perban dan kotak P3K, sedangkan sebagian lagi kikuk menelfon ambulan. Tak ada satupun dari mereka yang terlihat peduli lagi pada panji yang kupeluk.
Disusul jeritan sama dari orang berseragam yang lain, dengan luka menganga yang serupa. Membuat kawan-kawannya yang tak terluka sontak berlarian mencari perban dan kotak P3K, sedangkan sebagian lagi kikuk menelfon ambulan. Tak ada satupun dari mereka yang terlihat peduli lagi pada panji yang kupeluk.
Saat itulah, di tengah lapangan,
beberapa santri menunjuk ke atas langit, sepintas mereka merasa melihat
sekelompok burung terbang dengan membawa batu menyala di kakinya.
(Ini adalah cerita fiksi. Jika ada kesamaan tokoh, waktu maupun kejadian, itu hanyalah kebetulan semata)