Gulita di langit tinggal setengah, tapi mentari belum juga muncul
menayangkan wajah. Entah.. Padahal cahaya kuning pertanda fajar sudah
berubah merah, remang menerangi hulu hamparan tanah, lalu merayap
mengikuti kontur bumi tanpa enggan maupun jengah.
Jalanan masihlah sepi, kebanyakan orang lebih memilih kembali tidur
usai sembahyang shubuh tadi. Merasa waktu istirahat malam yang semula 8
jam, telah dipenggal dengan acara makan sahur. Sehingga tidur kembali
adalah saat-saat yang terbaik untuk mendengkur. Lagi-lagi entah..
Bukankah Rasulullah tidak menyukai tidur di waktu pagi? Dan bukankah
pagi adalah waktu dimana keberkahan dan kebaikan banyak bertebaran di
muka bumi? Hmph..
Halaman IGD klinik itu lengang, dua pintunya rapat tertutup, seolah
tak ada satu kehidupanpun dibaliknya. Aku memarkir kendaraan dengan
perasaan cemas, khawatir klinik tersebut benar-benar tutup, meski nyata
terpampang jelas tulisan di depannya adalah buka 24 jam.
"Zahdan, sebentar ya? Abi lihat dulu kedalam. Mudah-mudahan ada
orang atau dokter yang jaga" ucapku, sembari menatap Zahdan yang
terbaring di jok belakang. Zahdan tak menjawab, kedua matanya sayu
melihatiku. Nafasnya turun naik dengan cepat, keringat dingin membanjiri
kening dan dahinya. Ia tampak kepayahan untuk bernafas, batuk yang
diderita membuat penyakit asmanya kambuh lagi. Semalaman Ia kesulitan
bernafas, rasa sesak sempurna menghimpit paru-parunya. Dan sesak yang
berbeda, pun sempurna menghimpit sakit perasaanku.
Singkat cerita, Zahdan sudah dibaringkan di ruang IGD, terapi
nebulizer langsung dilakukan. Selang dan masker yang dipasangkan ke
hidung dan mulutnya mengeluarkan asap obat. Suara mesinnya berdengung
halus memantul-mantul dinding ruangan. Sungguh tak beda dengan Ziya
waktu kecil dulu.
"Waah..Zahdan jadi
mirip sama Thomas, ada asapnya" kataku, berusaha menghiburnya. Yang
dihibur hanya terdiam, terkulai lemas sembari menatapku datar, miris
melihatnya. Zahdan yang biasanya ceria, berlari kesana kemari,
berceloteh tiada henti, bertanya itu ini, ibarat di punggungnya selalu
terpasang baterai yang baru, zahdan sering terlihat antusias. Tapi kini
Ia hanya bisa terdiam, tergolek lemas tak berdaya, sambil berulang kali
terbatuk-batuk. Badan Zahdan ditegakkan, punggung kecilnya lalu
ditepuk-tepuk halus oleh seorang petugas, Zahdan terus terbatuk.
"Zahdan, tahu ga?
Astronot juga kalau pergi ke luar angkasa harus pakai masker kayak itu,
soalnya disana mah ga ada oksigen. Zahdan tinggal pake baju astronot,
trus naik roket, terbang deh.." kataku lagi. Kali ini Zahdan sedikit
tersenyum, Ia memang bercita-cita menjadi astronot. Ia suka terlihat
terpana dengan hal-hal berbau planet, tata surya, benda angkasa, dan
galaksi. Berulang-ulang Ia sering bertanya padaku, "Abi di Jupiter teh
ada apa? Abi kalo di Saturnus ada apa? Abi Zahdan mah ga mau ke Neptunus
ah, takut jadi es!" itu celotehnya. Aku kikuk mencari jawaban yang
memuaskan baginya.
Setengah jam, sesi
terapi Nebu berakhir. Zahdan terlihat sedikit lebih segar. Keringat di
dahinya sudah tak muncul lagi. Ia sedikit lebih leluasa menarik oksigen
kedalam paru-parunya. Meskipun tampak durasi nafasnya masih pendek dan
cepat. Membuat Dokter kembali memeriksa Zahdan dengan stetoskop. Bunyi
nafasnya didengarkan dengan seksama. Zahdan hanya terdiam, pasrah.
Tak lama, di ruangan
yg berbeda, Sang Dokter memberi arahan. "Pa, sayang sekali zahdan tak
bisa diterapi hanya sekali, Ia harus diterapi setiap 8 jam sekali.
Nanti saya kasih obatnya, di rumah ada alatnya kan?" tanyanya. Aku
mengangguk mengiyakan. Dokter melanjutkan, "jangan dulu dikasih yang
manis-manis, batuknya itu yang jadi pemicu alergi. Ini saya kasih juga
obat serbuk, rasanya pahit, zahdan tak akan suka, jadi boleh dicampur
saja dengan obat sirup. Kalau masih sesak juga, bawa lagi kesini"
ucapnya. Lagi-lagi Aku hanya mengangguk.
Di ruangan IGD,
Zahdan masih dibantu selang oksigen. Sementara Ziya asyik memainkan
Stetoskop milik Dokter yang tertinggal disana. Ziya menyentuhkannya ke
badan Zahdan, meniru Dokter barusan.
"Ziya, jangan nak..
Itu punya Dokter, Ziya kan belum minta izin dulu" kataku. Ziya menoleh,
lalu terkekeh. "Memangnya Ziya mau jadi Dokter ya?" tanyaku. Ziya
menggelengkan kepalanya mantap. "Ga atuh Abi, Ziya mah kan mau jadi
Penulis" jawabnya. Aku tersenyum mendengarnya.
"Jadan...mah.. Uhuk..
Uhuk.. Ja.. Jadan mah mau jadi astonot Abi.. Uhuk.. Uhuk..!" ucap
Zahdan, tak mau kalah. Aku langsung mengusap kepala Zahdan, "Iya.. Iya
astronot Zahdan. Tapi astronotnya harus sembuh dulu sebelum naik roket,
di Jupiter ga ada obat soalnya. Dokter juga ga ada. Jadi, zahdan nanti
harus mau makan yang banyak, minum obat, setelah sembuh baru jadi
astronot. Ya..?" bujukku. Kali ini yang dibujuk mantap mengangguk, lalu
berkata, "iya astronot Abi. He.. " jawabnya.
Kami bertiga berlalu
dari pintu klinik yang terbuka, melewati jam dinding yang menunjuk pukul
6 lewat 5. Ziya sedikit kecewa, Ia berharap bisa izin tak sekolah jika
di kliniknya lama. Zahdan terbatuk dalam gendongan, dibungkus selimut
bergambar thomas, kereta kesukaan. Aku.. Malah sibuk bertanya pada awan.
Apakah ini sepadan? Hmph...