“GA
APA-APA NAK, ADA ABI DISINI..”
Oleh
: Adi Wahyudin
Malam
masih temaram, bintang gemintang masih bertebaran. Berkedip menemani purnama,
yang membentuk bulatan teramat sempurna. Ajaib rasanya, mengingat dulu ia
pernah terbelah menjadi dua, lalu kembali menyatu. Memberi bukti kekuasaan
Tuhan pada sekelompok manusia yang ragu. Sayang, kesombongan acapkali
membutakan fikiran dari kebenaran. Bulan yang nyata-nyata terbelah dua, tak
lantas membuat hati mereka terbuka. Malah kian berkilah. Sihir, itu ucapnya.
Dari
kejauhan terdengar suara kokok ayam jantan, menyambut semburat merah di ufuk
timur yang memanjang perlahan. Sebuah pertanda bagi manusia-manusia pecundang, bahwa
waktu shubuh sudah hampir berlalu, dan malaikat pun telah berganti. Hilang
sudah kesempatan mendapatkan amalan setara beribadah sepanjang malam. Pupus
sudah peluang memperoleh pahala yang lebih baik dari dunia dan seisinya. Tak
acuh, para pecundang kembali menarik selimutnya, berfikir nanti pun masih ada
sholat lagi, esok pun masih ada shubuh lagi. Tak perlu buru-buru, lebih baik
membuai diri sendiri diatas empuknya ranjang, yang hangat, dan begitu nyaman.
Lelaplah ia kembali, menambah erat tiga buah buhul yang mengikat, mengundang
tawa setan-setan yang ramai mengencingi mata terpejamnya.
Seorang
anak berjingkrak-jingkrak keluar dari mesjid. Dengan hati-hati Ia melangkahkan
kaki kecilnya di atas teras yang basah sisa hujan semalam. Mata bulatnya
bergerak ke kanan kiri, mencari-cari sandal frozen
kesayangannya. Tak butuh waktu lama, ia dengan segera bisa menemukannya. Tentu
saja, tak banyak sandal-sandal yang berderet di pinggiran teras tersebut.
Karena seperti biasa, jamaah shubuhnya hanya 10 orang laki-laki saja. Tak
pernah lebih dari itu. Pernah bershaf-shaf banyaknya, adalah hanya ketika bulan
Ramadhan tiba. Itupun di minggu-minggu awal puasa. Sedang di hari-hari
menjelang Idul Fitri mereka jauh berkurang, terlampau sibuk dengan rutinitas
perayaan. Membeli baju-baju baru, mengisi toples-toples kue, hingga menghiasi
rumah dan pagar dengan lapisan cat baru.
Pun
jamaah perempuan, shubuh di bulan Ramadhan bisa membuatnya kembali lagi ke
rumah karena tak kebagian tempat di masjid. Itupun jika ia tak mau
berdesak-desakan di teras atau pelataran. Sungguh berbeda dengan keadaan di
hari-hari biasa seperti sekarang. Jika jamaah laki-laki hanya ada 10 orang,
jamaah perempuannya hanya ada dua orang saja. Seorang diantaranya adalah
nenek-nenek berusia lanjut, dan seorang lainnya adalah anak kecil yang masih
duduk di kelas dua Sekolah Dasar. Ia memakai atasan mukena berwarna coklat, dan
tengah melenggang girang dengan sandal frozen
di kedua kakinya.
“Maziya..”
panggilku. Anak tersebut menoleh, lalu bergegas mendekat. Wajahnya tersenyum
riang, tak terlihat sedikitpun rasa kantuk di raut mukanya. Ia sudah terbiasa
bangun sepagi ini, lalu ikut shalat shubuh berjamaah di masjid. Aku mengelus
kepalanya, lalu bertanya, “ziya masih ngantuk ga? Mau abi gendong sampe rumah?”
tawarku. Ziya menggeleng mantap, sambil menjawab, “ga usah abi. Ziya jalan
sendiri saja” ujarnya, lalu menggamit lengan kananku, menariknya pelan. Aku
tersenyum, ziya sepertinya sudah tahu. Bahwa kini badannya sudah lebih berat
dibanding dulu, menggendongnya di punggung seringkali membuatku terengah ketika
sampai di rumah. Meski tak pernah aku
mengatakan lelah, tapi ziya sepertinya sudah bisa mengerti hanya dengan melihat
peluh bercucuran di dahiku. Aku memang tak sekuat dulu. Hmph.. Jika begini aku
jadi merasa semakin tua saja.
“Abi,
rasi bintang Gemini kelihatan ga?” Tanya ziya, kepalanya tengadah menatap ke
langit. Ziya memang sedang tertarik pada rasi bintang, bermula saat Ia membeli
kertas-kertas lucu untuk bindernya. Ia menemukan kertas bergambar menarik
bertuliskan nama konstelasi. Didorong rasa penasaran, Ia meminta penjelasan yang
lebih rinci. Akupun terpaksa menerangkan padanya dengan hati-hati. Tak mau Ia
terpancing dengan segala sesuatu terkait Ramalan Bintang.
“Abi
kelihatan ga?” Ziya mengulang lagi pertanyaannya. Aku mengikuti arah matanya,
ikut melihat ke atas. “Hmm.. Kayaknya ngga nak. Yang kelihatan jelas cuma rasi
bintang biduk sama scorpio” ucapku. Ziya langsung menimpal heran “rasi bintang
scorpio?” tanyanya. Aku kembali
menjawab, “iya. Rasi bintang biduk yang kayak layang-layang, rasi bintang
scorpio yang ekornya panjang itu” jawabku, sambil menunjuk ke langit. Ziya
mengangguk-angguk sok mengerti. “Scorpio itu binatang?” tanyanya lagi. “Scorpio
itu sebutan lain untuk binatang kalajengking. Yang punya capit kayak kepiting,
tapi ekornya panjang. Trus diujung ekornya itu ada benda tajam, beracun juga.
Kalo disengat sama ekornya itu, kita bisa kemasukan racun, sakit, malah bisa
meninggal” paparku. Ziya masih berusaha mencerna kata-kataku, sebelum akhirnya
ia mengangguk lagi. “Ziya mah kan Gemini ya abi? Yang rasi bintangnya kayak
anak kembar kan?” celotehnya. “Iya, ziya kan lahirnya bulan juni” kataku. “Coba
ziya punya sodara kembar ya..” gumam ziya, berandai-andai. Aku hanya tersenyum
melihatnya. Ketertarikannya pada rasi bintang kerap ia tuangkan di dalam buku
gambarnya. Pernah kulihat ia menggambarkan tokoh-tokoh putri yang ia beri nama sama
dengan gugusan bintang. Putri Gemini, putri Aquarius, dll. Aku hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala dengan imajinasinya itu. Biasanya, hal itu akan
berlanjut dengan menulis cerita tentangnya.
Tiba
di depan rumah, ziya langsung membuka pintu sembari mengucapkan salam,
“Assalamu’alaikum..” ucapnya. Umminya yang tengah mengaji sontak terhenti,
“Wa’alaikumsalam. Eh..Kak Ziya udah pulang, tadi shalatnya sambil ngantuk
ngga?” tanyanya sembari tersenyum. Ziya menggeleng, “ya ngga atuh Ummi. Ziya
kan udah cuci muka” kata Ziya, sambil melepaskan mukena coklatnya, melipatnya
sembarang, lalu setengah melemparnya ke atas kasur. Sedetik kemudian ia sudah
mengambil kertas kosong dan bolpoin, bersiap melaksanakan hobinya, menggambar.
“Lah, Ka Ziya ga tidur lagi? Apa nanti ga akan ngantuk di sekolah?” tanya
Umminya. Ziya menjawab “ngga ah, sekarang ziya mah mau ngegambar putri Scorpio.
Eh tau ga Ummi, scorpio itu sebutan buat binatang kalajengking, yang ada
capitnya, trus juga ada racun di ekornya. Kalo ada manusia yang kena racunnya
bisa sakit, malah sampai meninggal !!” papar ziya dengan antusiasnya. Umminya
mengernyit heran, “Lho, ziya tau darimana?” tanyanya. Ziya menjawab lagi “tau
dari Abi barusan, makanya ziya sekarang mau gambar putri Scorpio, tapi putrinya
yang jahat, bawa-bawa racun. Sudah ya Ummi, ziya ngegambar dulu” ucap Ziya,
lalu masuk ke kamar, mulai menggoreskan pena nya di atas kertas kosong. Umminya
hanya berkata singkat “I.. iya” ujarnya, tergagap. Setelah menarik nafas
panjang, Ia kembali melantunkan ayat suci Alqur’an perlahan, tenggelam
didalamnya, beberapa kali terlihat sambil mengusap kedua ujung matanya yang
basah.
Meja
belajar Ziya penuh dengan deretan buku-buku dan tumpukan kertas. Sebagian besar
adalah buku pelajaran sekolah, sebagian lagi adalah buku cerita KKPK
(Kecil-kecil Punya Karya). Tentu saja, Ziya memang bercita-cita menjadi seorang
penulis. Setelah sebelumnya Ia ingin menjadi guru, juga pelukis, pengajar
biola, bahkan Ia pernah berkata ingin menjadi artis. Mendengar rentetan profesi
itu, aku sempat dibuat kewalahan. Ia kudaftarkan Les mewarnai, berhenti. Lalu
daftar lagi Les biola, berhenti. Terakhir Ia meminta didaftarkan di Pesantren Tahfiz.
Yang terakhir ini terkait cita-citanya yang baru, yakni menjadi seorang
Ustadzah. Amiin.. He..
Sembari
menggambar, ziya berulang kali menegakkan kepalanya, menatap dua buku yang berjejer
di dekat cermin. Satu buku berjudul “Ragam Cerita Bersama Ziya” dan satu lagi
berjudul “Tiga Putri”. Keduanya adalah buku hasil karyaku, terinspirasi dari
keseharianku bersama Ziya. Tak heran bila isi buku-buku itu kebanyakan menceritakan
tentang Ziya, di kehidupan nyata, maupun imajinasi. Buku-buku itu dibuat untuk
memotivasi ziya dalam kegiatan menulis. Tentunya terkait pula dengan
cita-citanya yang ingin menjadi penulis. Apapun itu, kami berdua memang suka
sekali membaca buku cerita. Dulu, kami sering menghabiskan waktu berdua di toko
buku, Ziya memilih sendiri buku yang ia inginkan. Terkadang minta dibacakan
satu per satu. Aku membacakannya dengan cepat, merasa risih dengan penjaga toko
yang mondar-mandir dibelakang kami, sepertinya ia takut kami hanya
mengacak-acak isi toko, tanpa membeli buku satupun juga. (He..)
Sebelum
tidur, Ziya pun selalu minta dibacakan dongeng, dari bukunya sendiri, atau buah
dari improvisasiku. Hingga akhirnya ziyapun semakin penasaran dan ingin diajari
mengetik di laptop, Ia mulai menulis cerita. Aku senang sekali melihatnya.
Jari-jari mungilnya menelusuri barisan keyboard, mencari huruf yang diinginkan.
Serentetan pertanyaanpun memberondongku tanpa ampun, “Abi, kalo mau ngehapus
gimana? Abi , kenapa hurufnya jadi ke bawah? Abi, nulis angkanya gimana?
Abiii…. Layarnya jadi iteeem… !!” ujarnya. Untuk yang terakhir itu, Aku hanya
menelan ludah, laptop tua itu memang sudah waktunya diganti baru.
“Abi,
nanti ziya bakal kasih hadiah buku karangan ziya” ujar ziya, hanya sesaat
setelah aku memberinya hadiah atas nilai-nilai ulangannya yang semakin membaik.
Ziya mengucapkan kata-kata itu dengan sorot mata yang berbinar, sungguh-sungguh
ingin membalas hadiah dariku dengan balasan yang terbaik. Aku hanya mengangguk
mengiyakan, lalu mengelus kepalanya lembut, “Iya nak.. Abi yakin, ziya pasti
bisa bikin buku yang lebih bagus dan lebih banyak dari Abi” jawabku menahan
haru. Ziya tersenyum lebar, memperlihatkan gigi depannya yang tanggal di bagian
depan.
***
“Ka
Ziyaa.. Mandii !! Sudah jam setengah tujuh !!” teriak Umminya. Itu adalah kali
ketiga Ia menyuruh ziya mandi. Dan jawaban yang sama pun meluncur dari mulut
Ziya “Iyaa!! Sebentar lagii!!” ujarnya, tanpa sedikitpun bergeming dari kertas
dan gambar yang tengah digarapnya. Umminya terdengar beristighfar berkali-kali.
Kesal karena Ziya masih jua tak keluar dari kamar. Sementara kedua tangannya masih
harus disibukkan dengan membuat sarapan, memandikan Zahdan (adik Ziya), dan
sesekali melongok keluar rumah mencari Pedagang Sayur keliling sambil mengomel.
Sungguh nyanyian pagi hari yang akrab sekali di telingaku.
“Ziya,
sudah nak. Mandi dulu gih, bisi sekolahnya kesiangan” ucapku pada Ziya. Ziya
langsung menoleh ke arahku, lalu terkekeh. “Hehe.. Iya.. iya Abi..” jawabnya,
sembari beranjak dari kursinya, berjalan dengan santainya menuju kamar mandi.
Umminya menggeleng-gelengkan kepala melihatnya. Aku tersenyum, Ziya kerap lupa
waktu jika sudah menggambar atau menulis. Saking asyiknya, bisa berjam-jam
lamanya Ia didepan meja belajar itu. Aku melirik kearah kertas gambar ziya
diatas meja. Tampak gambar seorang putri, lengkap dengan baju istananya, serta
istana megah dibelakangnya. Putri itu membawa sebuah gelas, ziya menulisi gelas
tersebut dengan kata “Racun”. Di samping kertas bagian kanan, beberapa gambar
putri yang lain tengah ketakutan. Masing-masing putri Ia beri tulisan dibawahnya,
“putri Gemini”, “Putri Leo”, dan seterusnya. Sementara Putri yang memegang
gelas racun Ia namai “Putri Scorpio”. He.. Tampaknya Ziya sudah berhasil
menuangkan imajinasi yang ada dalam fikirannya kedalam gambar ini.
Dibawah
tumpukan kertas, gambar-gambar ziya yang lain tertera disana. Gambar rumah,
gambar pohon, gambar sekolah, dll. Beberapa diantaranya sempat dianalisa oleh
seorang pakar. “Bi, Ziya itu memang memiliki karakter introvert, pemalu. Tapi
dia memiliki potensi yang besar. Bahkan sekarang dia sudah berkembang ke arah
yang baik. Coba lihat saja gambar ziya yang ini!” ucapnya, menunjukkan kertas
gambar ziya padaku. Terlihat gambar rumah di kertas bagian kanan. Dihiasi pagar
dan bunga-bunga indah. Di bagian kirinya terdapat pohon besar berbuah, ada
ayunan menjuntai kebawah. Seorang anak tengah berayun disana. “Kau lihat, rumah
itu bahasa anak tentang ibu, disitu terlihat bahwa ibu memiliki pengaruh dalam
kehidupan ziya. Habitsnya, lingkungannya bagus. Apa yang Ia tanamkan pada ziya
sudah bagus. Sementara pohon, itu bahasa anak tentang ayah. Lihat, pohon itu
berbuah, itu artinya ziya merasa kau yang banyak memberi pada ziya. Di pohon
itupun ziya tengah bermain ayunan disana. Artinya, Ziya merasa kau itu berarti,
tempatnya bergantung, bermain, dan menemukan kebahagiaan. Lainnya, ziya
terlihat sudah siap untuk aspek sosialnya, Ia sudah siap menunjukkan
kelebihannya di mata teman-temannya” paparnya, panjang lebar. Aku mengangguk-angguk
senang, membisikkan Hamdallah berulang kali. Dalam fikiranku, Ziya yang
introvert, tak akan lagi kesepian. Ia akan memiliki banyak teman seperti
anak-anak yang lain. Terbayang kembali masa dimana ziya kerap bermain sendiri,
tak ada yang mau menemani satupun. Ya, satupun. Mereka beranggapan ziya ga
asyik. Karena ziya tak pernah mau diajak memusuhi teman yang lain, Ia dengan
segala kepolosannya berbagi kebaikan dengan siapapun yang mendekatinya. Tak
mengerti jika anak yang lain tengah memusuhinya. Ia pun tak mau melepas kerudung
saat main di luar rumah, Satu keadaan dimana anak-anak yang sudah biasa
berkelompok, saling mengejek satu sama lain antar kelompok, mentertawakan anak
yang memakai kerudung. Mirip ibu-ibu, itu kata mereka. Ziya yang perasa, pulang
ke rumah sambil menangis. Menghambur dalam pelukanku, Ia terisak lalu mengadu.
Akupun membelai kepalanya lembut, menenangkannya. Menceritakannya tentang arti
kerudung bagi seorang muslimah. Tentang semakin rapat ia menutup auratnya,
semakin dekat pula jaraknya dengan surga. Kisah itu ditutup dengan berbagai pertanyaan
ziya seputar surga. “Abi, apa di surga ada boboboy? Ada air terjun ga? Kalo
istananya kayak gimana?” celotehnya polos, matanya bulat menatapku meminta
jawaban. Tampak masih ada air mata dikedua ujungnya. Melihat hal itu, aku
memeluknya kembali. “Ziya jangan pernah nangis lagi ya, ga usah takut, ada abi
disini yang nemenin ziya” ujarku. Ziya menjawab dengan sebuah senyuman
menggemaskan.
***
Ziya
tiba di sekolah 10 menit sebelum bel tanda masuk berbunyi. Ia berjalan gontai
masuk ke kelas, menggendong tas berbentuk kura-kura yang gemuk berisi
buku-buku. Ia lalu duduk di kursinya, sendiri.. Tak ada satupun teman
sekelasnya yang mendekat, mengajak ngobrol, atau bermain bersama. Mereka sibuk
dengan kelompok masing-masing. Ada yang menunjukkan tempat pensil baru, ada
yang bermain petak umpet, ada yang berkejaran, sisanya “ngrumpi” sembari
tertawa-tawa. Sementara ziya, Ia terlihat menopang dagu sendirian. Ia sudah
siap untuk bersosialisasi, Ia sudah siap untuk menunjukkan minat dan
kelebihannya. Sayang, tampaknya lingkungannya belum siap menerima Ziya.
Predikat “ga asyik” masih melekat erat pada Ziya. Mata bulatnya menatap
teman-temannya datar, memperhatikan mereka satu per satu. Hingga Ia melihatku
diluar jendela. Ziya segera mendekat, memberi isyarat dari belakang kaca, “abi
pulang aja” ucapnya. Aku mengangkat alis, berpura-pura tak mengerti. Ziya
kembali mengulang kata-katanya, “abi pulang aja” ucapnya lagi. Aku terpaksa
mengangguk, lalu berbalik kanan menjauh. Berat rasanya meninggalkannya di kelas
tanpa teman. Mungkin Ia sudah terlalu terbiasa diperlakukan demikian. Hingga
sendiri menjadi sesuatu yang tidak aneh lagi baginya. “bertahanlah nak, kau
pasti bisa..” bisikku dalam hati.
***
Langit-langit
ruangan berwarna putih, aku menatapnya sembari melamun, Rasanya ia
mengingatkanku pada sesuatu. Ya, waktu dimana Ziya masih sangatlah kecil.
Ketika proses kelahiran yang tak berjalan lancar, membuat ziya kecil teracuni
air ketuban. Ia sulit bernafas. Hingga saat seluruh badannya keluar ke dunia,
Ia tak menangis..sedikitpun. Badannya pucat dan lemas. Seluruh saudara yang
hadir membisu, tak mampu berkata apa-apa. Memperhatikan bidan yang panik bukan
kepalang. Mendengar denyut jantung ziya, memukul-mukul telapak kakinya, hingga
memasukkan selang ke paru-paru ziya, mencoba menghisap cairan yang masuk
kedalamnya. Waktu seolah berhenti saat itu. Neneknya yang ikut hadir disana,
terjatuh lemas, menangis tak tertahankan. Aku berusaha terlihat tegar, menahan
lutut yang lemas agar tetap berdiri. Satu jam lamanya, Ziya kecil akhirnya
terbatuk, lalu menangis kecil.
Tak
berhenti sampai disitu, ziya harus dibawa ke rumah sakit besar, langsung
dirawat di High Care Unit. Selang-selang membelit tubuhnya, sensor-sensor
ditempelkan padanya. Jarum infus menusuk tubuh lemahnya. Seolah semua hal itu
dianggap tak cukup, dokter mengatakan hal yang kembali membuatku tersiksa,
detak jantung ziya dibawah rata-rata, jantungnya lemah.
Maka,
sungguh suatu kejaiban Ziya bisa tumbuh menjadi seperti sekarang ini. Setiap
hari aku menungguinya di luar ruangan. Mengunjunginya setiap pintu khusus itu
dibuka. Tanpa cerita, hanya menatap bayi kecil yang berada dibalik tabung kaca.
“ga apa-apa nak, ada abi disini.. ada abi disini” ulangku, terus menerus sambil
berbisik.
***
Malam
masih temaram, bintang gemintang masih bertebaran. Ramai kedipnya bergantian,
mendampingi rembulan yang tak lagi membentuk bulatan. Semburat merah di ujung
timur memanjang perlahan, menambah tinggi lengkingan kokok sang ayam jantan.
Adzan
shubuh sudah 15 menit berlalu. Kali ini jamaahnya berkurang satu. Kakek Toha,
tengah dirawat di Rumah Sakit karena usia. 9 orang jamaah laki-laki, dan 2
orang jamaah perempuan. Satu diantaranya adalah seorang nenek berusia lanjut,
yang masih khusyu berzikir di belakang tirai pemisah. Seorang lainnya sudah
berjingkrak-jingkrak girang, dengan sandal frozen
yang ia kenakan, Ia melompati genangan-genangan air di jalan, sisa hujan
semalaman.
“Abi,
rasi bintang Gemini sekarang kelihatan?” tanyanya riang. Aku mendongak,
memperhatikan langit. “Masih belum nak, yang ada malah rasi bintang cancer”
ucapku. Ziya langsung meloncat, “Cancer?? Mana bi? Yang mana??” tanyanya,
begitu penasaran. Aku tertawa melihatnya, lalu mengarahkan telunjuk kananku ke
arah sekelompok bintang yang berkumpul di sebelah utara. Mata ziya memicing
mengikuti telunjukku, lalu mendelik sembari berkata “yang itu bi? Yang kayak
kepiting?” ucapnya. Aku mengangguk mengiyakan. “Iya, rasi bintang cancer itu
berbentuk seperti kepiting. Tuh lihat ada capit di kanan kirinya” ujarku. Ziya
mendengarkan dengan serius. “Selain nama untuk rasi bintang, cancer juga adalah
nama penyakit. Istilah Indonesianya adalah Kanker” penjelasanku dipotong ziya,
“sakitnya kaya kena racun kalajengking abi?” tanyanya. Aku berfikir sejenak
“mm.. ya, mungkin beratnya kaya gitulah. Soalnya, yang sakit Kanker bisa sampai
meninggal juga” jawabku. Ziya mengangguk-angguk, sok mengerti.
Tiba
didepan rumah, ziya membuka pintu sembari mengucap salam “Assalamu’alaikum”
katanya, dengan suara yang tidak terlalu keras. Ia tahu Zahdan adiknya pasti
masih tertidur, Ia tak mau membangunkannya. Umminya yang tengah membaca Al
Qur’an langsung berhenti. “Wa’alaikum salam” jawabnya. “Ka ziya, tadi sholatnya
bareng sama Bu Haji?” tanya Ummi lagi. Ziya mengangguk mengiyakan. Seperti
biasa Ia melipat mukenanya asal, melemparnya ke atas kasur, lalu bergegas
mengambil kertas kosong dan bolpoin, hendak menggambar. “Ummi, tau ga.. tadi
ziya ditunjukin rasi bintang Cancer, yang bentuknya kaya kepiting” ujar Ziya.
Alis Umminya mengernyit, “oya, ziya ditunjukin sama siapa?” tanyanya. Ziya
langsung menjawab “sama abi. Abi juga bilang kalo Cancer itu nama penyakit
juga, kaya kena racun kalajengking, soalnya bisa bikin orang mening….”
Perkataan Ziya terhenti, dipotong Umminya. “Cukup Ziya..!!! Berhenti !!”
bentaknya dengan suara yang tinggi. Beruntung suara itu tak membangunkan
Zahdan. Ziya terpaku, kaget dibentak Umminya seperti itu. Ia menatap Umminya
tak mengerti. “Cu..kup Ziya… Cu..kup.. jangan lagi..” ujar Umminya, sembari
terisak penuh kesedihan, air matanya meleleh, mengalir di kedua pipinya, hingga
menetes membasahi lembar Al Qur’an yang tengah dipegangnya. Ziya masih menatap
Umminya tak mengerti. “Kau harus ikhlas nak.. Kau harus ikhlas… Jangan lagi kau
bicara ketemu sama abi.. kau harus ikhlas.. Abi itu udah ga ada… Kanker sudah..”
Umminya kembali terisak keras, lalu menutupi wajahnya, air matapun kian deras
mengalir. Saat itu, Zahdan terbangun, memanggil-manggil Umminya. Dan dengan
suara yang masih terisak, Ummi menjawab panggilannya “i..iya.. nak..” ucapnya,
lirih.
Ziya
tertunduk. Membisu.. Lidahnya kelu.. Ia tak mampu lagi berkata-kata. Pelan, Ia
melangkah ke kamarnya. Dan diatas meja belajar itu, Ia menangkupkan kepalanya,
menangis.. tanpa suara.
Aku
iba melihatnya. Dengan lembut, aku lalu mengelus kepalanya. “Ga apa-apa nak..
Ada abi disini.. ada abi disini..” bisikku.